Waspada Polusi Pemikiran Bagi Diri

Published by Ponpes Anwarul Huda on

Saat ini berbagai informasi mudah didapatkan melalui berbagai platform media, mulai dari youtube, instagram, tik-tok, facebook dan lain sebagainya. Dari berbagai platform media yang telah disebutkan dikhawatirkan terjadinya “Talawwuts Al-Afkar” atau  “POLUSI PEMIKIRAN” yang  diakibatkan dari seorang yang  mencampur aduk  informasi pengetahuan yang  diterima oleh  seseorang tanpa kritis dan  cermat dalam menerima informasi. Padahal teori  penerimaan informasi disebutkan “Khudz Ma Shofa Da’ Ma Kadar” (Ambilah sesuatu yang positif & tinggalkan hal yang negatif).

Tidak dapat dipungkiri sejak hari ini dan kedepannya banyak orang yang  membawa pemikiran tertentu dan bahkan tidak sedikit yang  mengarah kepada “War of thinking” (Perang Pemikiran) yang mana hal ini sangat berbahaya. Seperti yang dikatakan oleh Al Mufakkir Islami Al Habib Abu Bakar Al Adni Yamani “Perang Pemikiran itu jauh lebih parah dan berbahaya daripada perang tentara”.

Sebab utama dari terpengaruhnya seseorang terhadap suatu pemikiran adalah tidak  adanya dasar-dasar yang bisa menjadi pegangan dan pijakan dalam kehidupan beragamanya serta  minimnya minat untuk  mempelajari ilmu agama sejak dini dari  dasar. Justru kebanyakan orang lebih suka terhadap proses pencarian ilmu yang instan, simple dan cepat. Sebenarnya tak ada salahnya  mempelajari sesuatu dengan instan akan tetapi juga harus berasal dari sumber yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.

Coba lihat disekitar anda, ketika seseorang yang tidak mempelajari ilmu agama lalu dalam sekejap menjadi tokoh  atau  bahkan ustadz lalu dia mengeluarkan statemen-statemen yang dicampur aduk dengan logikanya sendiri dengan pengetahuan terbatasnya. Hal ini tidak hanya membahayakan dirinya sendiri tapi lebih membahayakan orang lain yang menjadikannya sebagai figur (panutan). Sehingga statement-statementnya akan dipercayai, diikuti dan dibenarkan. Fenomena ini dapat menjadikan hilangnya nilai-nilai dasar ajaran Islam yang menjadi tuntunan hidup manusia.

Maka yang menjadi tugas kita semua saat ini untuk menetralisir penyebaran “POLUSI  PEMIKIRAN”  ini adalah dengan merefleksi kembali pentingnya mempelajari dasar-dasar ilmu agama serta mengokohkannya. Diantara  beberapa dasar agama tersebut adalah;

  • Aqidah (Tauhid meliputi  Ilmu  mengenal  sifat  wajib, mustahil, jaiz bagi Allah SWT, dan yang berkaitan dengan keyakinan)
  • Ilmu Fiqh (Syariah Islam meliputi  hukum  ibadah, muamalah, nikah, jinayah, dan lain-lain)
  • Akhlaq ( Moral meliputi hubungan vertical dan horizontal)
  • Qur’an & Hadits ( meliputi mengkaji isi qur’an dan mengkaji hadits)
  • Nahwu & Shorof (Gramatika arab)

Demikian itulah  yang  perlu  kita  kokohkan khususnya sejak hari ini hingga kedepannya. Sebab ibarat suatu bangunan tidak akan kuat jika pondasi dasarnya tidak kuat meskipun bangunannya megah dan indah.

Seperti pesan seorang ulama Almarhum  KH Maimoen Zubair  : “Saya berpesan kepada anak anakku sekalian agar tetap mempertahankan tradisi mempelajari ilmu ilmu dasar agama khususnya kitab kuning, sebab tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan agama ini kedepannya selain dengan ini.”

Sementara kemajuan zaman dan teknologi yang ada bagi kita adalah sarana saja bukan hal utama dalam mencari dasar pengetahuan. Kalau negara maju seperti korea, jepang, singapura yang  menggunakan teknologi dalam segala aspek ukuran  cepat atau  tidaknya  memperoleh ilmu. Maka ilmu agama tidak harus diperoleh dengan cara itu. Sebab dalam mencari ilmu agama ada yang disebut keberkahan yang mana keberkahan ini diukur dari jerih payah dalam proses pencarian ilmu itu sendiri.

Yang terakhir agar ilmu yang kita dapatkan benar-benar kredibel, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu pilihlah kitab dari ulama terdahulu sebelum mempelajari buku kontemporer, Pilihlah seorang guru untuk membimbing yang berkompeten, sanadnya jelas, dan ahlaknya bagus. Jika ingin serius belajar ilmu agama, maka pesantren menjadi tempat yang tepat untuk menimba ilmu agama agar mendapatkan ilmu yang sanadnya jelas dan Mutawatir. Jika tidak dapat belajar langsung di pesantren, maka merujuklah pada lembaga-lembaga pesantren yang telah menyampaikan ilmu-ilmu dengan dasar yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Apabila belajar dari media sosial maka pilihlah media yang jelas berazazkan Ahlussunnah Wal Jama’ah An-Nahdliyyah.

Sekian

Semoga bermanfaat

Penulis: Fathurrahman Jamil


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *