Menjadi Santri yang Sesungguhnya

Published by Ponpes Anwarul Huda on

Oleh: M.Fahmi

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik (QS. Al-‘Ankabuut:69).

Betapa banyak dan beragam pandangan atau definisi dari kata “santri”. Ada yang mengatakan bahwa santri adalah orang yang meninggalkan rumah dan keluarganya demi untuk mencari kebenaran di dalam kehidupan (baca: belajar ilmu agama Islam) ke suatu tempat dan menetap pada kurun waktu tertentu Ada juga yang berpendapat, bahwa santri adalah singkatan dari lima huruf hijaiyyah, yaitu س ن ت ر ي) ). Huruf “س ” adalah سالك الى الاخرة , yang berarti “menempuh jalan ke akhirat”. Kemudian huruf “ن ” adalah نائب عن المشايخ , yang berarti “pengganti para masyayikh“. Huruf “ت ” adalah تارك عن المعاصي , yang berarti “meninggalkan kemaksiatan”. Huruf “ر ” adalah راغب في الخيرات , yang berarti “pencinta kebaikan”. Dan huruf “ي “-nya adalah  يرجو السلامة في الدنيا والاخرة, yang berarti “mengharap keselamatan dalam dunia dan akhirat”. Kemudian KH. Musthofa Bisri mengatakan bahwa, “santri” itu bukan hanya yang pernah modok saja, tetapi siapa saja yang berakhlak santri, maka ia disebut santri.

Apapun pernyataan tentang “santri”, pada hakikatnya, kesemuanya itu memiliki kesamaan persepsi, yaitu orang yang sedang dalam proses pencarian ilmu dan kebenaran untuk kemudian diamalkan di muka bumi ini sebagai bekal di kehidupan esok yang lebih kekal. Namun di dalam tulisan ini, penulis lebih menekankan pada makna “santri” yang sesungguhnya, yaitu santri yang tinggal di sebuah pondok pesantren untuk mengaji dan mendalami ilmu agama Islam.

Sementara, pondok pesantren merupakan “wadah” yang di dalamnya, pemikiran, pembelajaran, penggemblengan, gagasan, dan pembentukan karakter berjalan secara dinamis. Potensi pesantren yang demikian itu tumbuh dari dua hal: pertama, kemampuan dan kecakapan; kedua, kepercayaan masyarakat atasnya. Pesantren dengan religiusitas dan pendidikan moralnya berhasil membangun karisma dan pengaruh yang begitu besar. Pembelajaran nilai-nilai keagamaan yang terus-menerus ditransformasikan melalui pendidikan mampu mengejewantah dalam realitas masyarakat. Pesantren setidaknya, berhasil menyumbang tatanan nilai dan moral-etik yang kemudian dipegang oleh masyarakat. Besarnya peran pesantren dalam membentuk tatanan moral masyarakat memosisikannya sebagai basis segala aktivitas.

Apalagi pesantren yang berada dalam kawasan pendidikan formal berupa sekolah-sekolah atau perguruan tinggi—yang dengannya, santri bisa belajar pula di dalam sekolah formal—dapat memberi kontribusi pemikiran yang lebih besar lagi. Hal itu membuat masyarakat menyerahkan sebagian besar kepercayaannya pada pondok pesantren. Tokoh-tokoh besar yang berasal dari pondok pesantren menjadi tumpuan masyarakat atas berbagai masalah keseharian yang dihadapi.

Masalahnya, kepercayaan masyarakat pada pesantren kini mulai terkikis. Salah satunya adalah disebabkan adanya degradasi moral yang terindikasi melalui perilaku dan kebiasaan santri yang nyaris tercabut dari  akar keber-Islamannya.

Realita yang sedang kita hadapi saat ini adalah ketidak-selarasan antara kecerdasan akal dan sikap moral. Fakta telah banyak membuktikan, bahwa setiap santri sesungguhnya telah dianugerahi kecerdasan akal masing-masing, tetapi masih banyak di antara mereka yang tidak bisa mengaplikasikan ilmunya di dalam kehidupan. Disadari maupun tidak, sering kali perasaan atas “kemampuan” yang dimiliki seolah-olah membawa pada sifat “bangga diri”, sehingga meremehkan esensi dari moralitas. Hal ini sekilas terlihat sepele, tapi jika diamati lebih dekat, akan dapat membawa dampak yang amat besar. Salah satu yang dapat dilihat secara kasat mata adalah menurunnya tindak-tanduk yang mencerminkan kesopanan dan ketawadhu’an yang secara dramatis dan mungkin agak hiperbolis, penulis namai sebagai “naza’ moral”.

Tampaknya, masalah naza’ moral kini mulai menyeruak di setiap sudut kehidupan. Banyak faktor yang dapat menyebar-luaskan keberadaan naza’ moral. Di antaranya adalah fenomena semaraknya perilaku yang mengarah pada budaya barat: amoral, niretik, hedonis, konsumtif, berbuat dzalim, melakukan maksiat, dan perbuatan yang bertolak-belakang dengan religiusitas, kini mudah ditemukan.

Berbagai ideologi terbungkus dalam kemasan modernitas dan teknologi. Adanya berbagai teknologi ternyata tidak selalu berdampak positif bagi kehidupan santri pada zaman sekarang. Akan tetapi, tidak bijak apabila kemudian kita ikut latah menyalahkan teknologi. Karena sejatinya teknologi ibarat pisau, di mana baik-buruknya tergantung pemakainya. Kita lihat, betapa enggannya santri menjenguk perpustakaan karena Mbah Google jauh lebih cepat dan akurat dalam menjawab beragam persoalan. Laptop yang digunakan oleh santri di Halaqoh hampir setiap saat dimanfaatkan untuk membuka situs jejaring sosial semisal facebook, youtube, atau menyimpan film, lagu, dan foto-foto narsis dibandingkan untuk kegiatan yang menunjang proses edukasi.

Terlalu banyak santri yang bergadang di depan leptop ketika malam hari, selalu menyajikan budaya tidur berjamaah di saat ngaji pagi. Sehingga pesan demi pesan kehidupan yang diajarkan oleh Kyai, yang seharusnya diterima santri, tidak sampai masuk ke dalam hati nurani santri. Hal ini dapat menimbulkan banyak kerusakan iman, di antaranya beberapa santri yang hanya menggenggam iman di dalam pesantren saja, alias ketika keluar dari wilayah pondok, maka—entah itu lupa atau sengaja—imannya tidak dibawa. Ini sering terjadi dalam berbagai peristiwa, seperti berboncengan dengan lawan jenis, berlaku dzalim, dosa, dan perbuatan lain yang telah dilarang oleh pesantren dan agama. Seharusnya, santri mengerti batasan-batasan, tentang bagaimana menjaga jarak dengan lawan jenis, tentang bagaimana beretika dengan masyarakat kampung, tentang kewajibannya menjaga iman di setiap saat. Padahal sesungguhnya, iman adalah sesuatu yang paling mahal dan mulia bagi santri, yang seharusnya selalu dibawa di manapun mereka berada.

Tampaknya, santri zaman sekarang agak kesulitan membendung penjajahan budaya. Masuknya ekspansi besar-besaran budaya luar yang menembus dinding-dinding pesantren secara perlahan namun pasti, langsung dikonsumsi mentah-mentah oleh santri, nyaris tanpa ada “filter” terlebih dahulu. Hal yang terlihat sepele ini dapat menjadikan kekeroposan pesantren.

Baca juga : Kenapa anak harus mondok di pesantren

Santri secara tidak sadar, kini dihinggapi budaya instan, konsumtif, dan hedonis. Instan lantaran terbiasa dengan “kemudahan”, segalanya didapat dengan mudah dan tanpa melalui proses yang teliti. Konsumtif akibat pudarnya daya kritisme santri sekaligus lantaran dihadapkan pada dagangan produk kapitalis yang menggiurkan. Hedonis lantaran ada kecenderungan perilaku yang diarahkan untuk melulu menggali sebuah kesenangan semu.

Budaya luar yang dengan mudahnya masuk pada celah-celah kehidupan ini sesungguhnya akibat dari nihilnya daya kritis santri. Guna membendung arus budaya yang tidak sesuai dengan pandangan Islam, sebuah “benteng” perlu segera dibangun. Benteng yang dengannya, religiusitas, kebiasaan bersikap kritis, dan moral terus dipertahankan. Tentunya tak lantas menolak sepenuhnya segala budaya yang masuk selama tidak bertolak-belakang dengan nilai-nilai Islam.

Itulah sebabnya, di era yang serba millenium dan transparan ini, santri perlu untuk menjadi santri yang sesungguhnya. Yaitu selalu berhati-hati, kritis, waspada, mawas diri, dan peka terhadap apa saja yang disuguhkan di dalam realita kehidupan. Santri harus bisa melawan dirinya sendiri. Santri harus rela memberikan segala-galanya, seluruh hatinya untuk kebenaran. Sebab, hari ini telah banyak orang yang melupakan kebenaran. Perputaran zaman yang telah sedemikian rakusnya, sehingga arti kebenaran dan arti kemanusiaan telah dicampakkan darinya. Berbagai produk kecanggihan teknologi, perubahan gaya hidup, modernisasi, dan berbagai kemasan lain, baik yang kasat mata ataupun tidak, serasa membuat manusia semakin lupa diri: menjauhkan manusia dari inti pencariannya yang sejati. Orang-orang tak peduli lagi pada kebenaran. Kebenaran seakan menjadi boneka lucu yang layak untuk ditertawakan. Bahwa manusia zaman sekarang telah banyak yang terjajah. Terjajah oleh kepentingan-kepentingan, terjajah oleh kemaksiatan, oleh dosa, oleh kerakusan, oleh kemunafikan, oleh kedustaan, terjajah oleh nafsu dan materi, terjajah oleh para penjajah nyatanya lahir dari diri sendiri. Manusia telah lama tertidur, hingga mereka tak mengerti, bahwa kebathilan telah sedemikian pesatnya menyesaki isi bumi. Bumi telah sesak oleh berbagai kemungkaran-kemungkaran. Lihatlah, betapa kebenaran kini telah lama mati bersama matinya hati nurani. Maka telah sepatutnya para santri bangun dan bergerak. Berani dengan lantang dan teguh, untuk menegakkan kembali kebenaran dengan dakwah, dengan syi’ar, dengan amal, dengan prinsip dan keyakinan, dan memerangi segala kemaksiatan dengan kebenaran. Mengamalkan segala yang telah diajarkan oleh Kyai agar dapat mempertebal benteng keimanan. Percayalah, bahwa kebenaran kelak akan muncul sebagai pemenang, meski datangnya kadang belakangan.

Apapun yang “menimpa” santri pada zaman sekarang, kemungkinan besar tidak akan mengikis harapan masyarakat pada pondok pesantren sebagai agent of change. Sebab, pondok pesantren selamanya akan tetap menjadi “bengkel moral”. Bahkan sampai detik ini, peran santri masih besar, dan gaungnya terdengar di segala ranah kehidupan masyarakat, mulai dari agama, pendidikan, budaya, bahkan politik. Karena itu, butuh komitmen dan konsistensi santri untuk menjaga pesantren (secara kelembagaan) dan santri (secara pribadi) itu sendiri. Tanpa sikap demikian, santri akan terus-menerus tergerus kecenderungan degradasi moral dan menjadi korban peradaban. Na’udzubillahi min dzaalik.


1 Comment

M. Fahmi · August 23, 2020 at 11:00 am

Alhamdulillah 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *