ILMU YANG TIDAK BERMANFAAT

Published by Ponpes Anwarul Huda on

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara, di dalamnya dihuni santri putra dan santri putri, tidak lain untuk memperdalam ilmu agama. Model pendidikan di pesantren sedikit banyak memiliki kesamaan dengan pendidikan di agama sebelumnya, yakni agama hindu budha. Di Vihara ada Atasilani (sebagai santri putri), samanera (sebagai santri putra) yang hendak mencari ilmu agama Budha. Tetapi pesantren memiliki keistimewaanya sendiri, seperti terdengar istilah barokah, khidmah, tirakat, riyadhoh, gemblengan dan lain-lain. Itulah yang menjadikan pesantren menjadi model pendidikan Islam terbaik yang pernah ada. Kalau di kurikulum pendidikan kita mengenal istilah full day school, maka dipesantren kita mengenal dengan full time education.

Allah berfirman dalam Surah al-Mujadalah ayat 11:

Artinya:  Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Dengan begitu, keberadaan pondok pesantren menjadi sangat penting bagi pengembangan ilmu keagamaan, bahkan keberadaannya menjadi harapan masayarakat untuk mengatasi degradasi moral yang saat ini kian parah. Bagi Islam, ilmu diposisikan sebagai pondasi utama, sekaligus indikator maju mundurnya sebuah peradaban. Jika seorang muslim senantiasa semangat untuk mengkaji dan memperdalam sebuah ilmu, bukan tidak mungkin peradaban Islam akan menjadi peradaban terbaik hingga akhir dunia. Namun, Islam tidak hanya konsen pada keilmuan saja, hemat cerita banyak dari ilmuan atau cendikiawan yang pada ujungnya dianugrahi rompi kuning dari KPK. Untuk itu, kesalehan juga prioritas yang tidak bisa terpisahkan dari keilmuan. Seseorang yang berilmu tetapi non saleh maka sangat membahayakan, barangkali ia menggunakan ilmunya untuk membrangus kebaikan. Sedangkan orang saleh dan tidak berilmu, maka keshalehannya masih dikhawatirkan.

Permasalahan antara ilmuan dan kesalehan ini juga menyinggung dunia pesantren. Sudah tidak asing lagi, pesantren diisukan gagal dalam membina keshalehan santri-santrinya. Benar saja, anggapan masyarakat yang terkait seperti, “banyak yang bertahun-tahun nyantri di pesantren, belajar agama, ikut pengajian, lha kok’ pulang-pulang jadi berandal suka buat onar, ibadah seenaknya, malas bekerja, terus sukar menjaga kebersihan”. Ungkapan ini tidak bisa dianggap remeh, hingga akhirnya mengotori nama pesantren, yang selalu harum menghasilkan para Ulamaus shalihin sebagai pewaris para Nabi. Untuk itu, dalam tulisan ini, kita akan coba kupas tuntas fenomena apa yang sebenarnya terjadi hingga produk pesantren menjadi bahan bully-an di masyarakat sendiri.

Untuk mengawali, mari kita telisik lebih jauh bagaimana usaha santri tersebut dalam mendalami ilmu di pesantren. Dalam mencari ilmu, pertama dan paling utama yang harus dilakukan adalah niat tulus karena mencari ridho Allah SWT. Dalam ilmu manajemen, “awal yang baik adalah kunci dari akhir yang diharapkan”, begitulah niat. Terkmaktub dalam kitab Bidayatul Hidayah karangan Imam al-Ghozali diterangkan, bahwasanya mencari ilmu itu tidak diperbolehkan bermaksud/ diniatkan untuk berbangga-bangga diri, menyaingi seseorang, mendapat kehormatan dihadapan manusia, dan bertujuan untuk mendapatkan harta dunia. Jika ada seorang santri ketika dipesantren tujuannya ada yang terpaut dari salah satu tujuan yang diterangkan Imam al-Ghozali tersebut, maka yang didapatkan adalah ilmu yang tidak manfaat. Menurut KH. M. Baidowi Muslich, bahwasanya orang yang ilmunya tidak manfaat akan mendatangkan kecelakaan-kecelakaan bagi dirinya.

Kemudian sebab yang kedua ialah, terdengar sebuah ungkapan “ pesantren iku barokahi, tapi yo malati le”, yang artinya pesantren itu memang samudra keberkahan, tetapi mempermainkan pesantren sangat berbahaya. Di pesantren, santri tidak semuanya adalah orang baik, banyak di kalangan santri adalah anak-anak yang dikenal nakal, bandel di sekolah, bahkan ada yang alumni pencuri, pemabuk hingga residivis narkoba. Ini dilatar belakangi oleh paradigma masyarakat, jika anakmu nakal maka pondokkan lah. Akhirnya, orang tua menunggu anaknya nakal hingga memutuskan memasukkannya di pondok pesantren. Imbasnya, input pesantren bukan dari kalangan yang sehat, tetapi pesakitan yang di bebankan untuk pesantren dan harus di obati. Sehingga tak asing jikalau masih ditemui kriminalitas di dunia pesantren.

Kemudian, sebab ketiga bisa kita telisik di budaya tawadhu’, dalam pesantren tawadhu adalah jantung dari tarbiyahnya. Hingga ditemui sebuah ungkapan “Mondok itu seng penting manut poro kyai, pinter ora pinter urusan buri”, di Pesantren itu harus taat atau hormat kepada kyai, masalah pinter atau tidak itu urusan belakang. Walaupun santri tersebut Alim melebihi kyainya atau gurunya, namun tidak dihiasi dengan kerendahan hati, maka tiada guna dan manfaat kealimannya tersebut, malah akan mendapatkan kehinaan dari sisi Allah SWT. Sebab, kalau sekedar alim, Iblis pun jauh lebih alim dari pada manusia. Dia mengerti surga dan neraka, mengerti hal-hal yang ghaib. Dan sebab kesombongannya itu, Iblis dilemparkan ke dalam neraka. Sejatinya orang yang tawadhu bukan berarti jatuh dan direndahkan, tetapi akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT. Sebab Nabi pernah bersabda: barang siapa yang tawadhu, maka akan dianggkat derajatnya oleh Allah SWT. Terdengar pula ucapan Babul Ilmi Sayyidina Ali ra bahwa, “saya siap menjadi budak kepada siapapun yang mengajarkan saya satu ilmu, walau satu huruf”. Ungkapan tersebut menunjukkan kesempurnaan tawadhu yang dimiliki sayidina Ali ra.

Adapun sebab ke empat, bisa kita amat dari rizki yang dikonsumsi. Allah SWT berfirman dalam Surat al-Nahl ayat 114 :

Artinya: Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.

Ayat tersebut menunjukkan perintah akan keharusan mengkonsumsi makanan yang halal juga baik. Terkadang yang halal belum tentu baik, seperti makan sesuatu yang telah kadaluarsa, halal memang, namun tidak baik untuk kesehatan. Mengapa kita perlu memakan makanan halal lagi toyyib/baik. Sebab makanan yang kita makan hakikatnya menjadi daging dalam tubuh, menjadi energi untuk beraktifitas, dan membentuk karakter keperibadian seseorang. Jika yang kita makan adalah sesuatu yang haram, maka akal kita akan lemah, tubuh kita selalu dihinggapi kemalasan, dan batin kita akan mati. Untuk itu, seorang santri yang dalam perjalanannya mencari ilmu kurang memperhatikan apa yang dikonsumsinya atau dari orang tua santri yang kurang memperhatikan kehalalan dalam pekerjaanya, maka cahaya ilmu akan tertutup darinya. Jika sudah demikian, maka ibarat pintu sudah tidak lagi tertutup tetapi terkunci, begitu juga hati santri tersebut. Penting sangat bagi santri jeli terhadap apa yang dikonsumsi, dengan makanan halal, hati santri menjadi bersih, terbuka, dan mampu menerima nasihat-nasihat yang diberikan oleh para kyai.

Kemudian, sebab yang terakhir adalah Riyadhoh atau Tirakat. Pesantren merupakan prototipe dari masyarakat yang sesungguhnya. Untuk menghadapi masyarakat sesunggunya, santri butuh Riyadhoh, tidak lain untuk membersihkan hati dari dosa-dosa, melatih mental, menajamkan pikiran, dan membangun akhlakul karimah. Ini penting, dengan Riyadhoh seorang santri akan mendapatkan kedewasaan yang matang, dia memiliki kepekaan batiniah dan sosial yang tinggi, dan mampu menyelesaikan problematika dalam bermasyarakat. Adapun santri anti Riyadhoh terkadang terlalu jumud dalam bermasyarakat, dia tidak bisa menangkap berbagai masalah dalam masyarakat apalagi menyelesaikannya, akhirnya bertindak seenaknya sendiri hingga lupa bahwa setatusnya adalah seorang santri.

Dengan mengetahui sebab-sebab dari persoalan tersebut, maka dapat kita rumuskan sebuah solusi praktis terkait  masalah “bertahun-tahun di Pesantren pulang jadi berandal”. Perlu diketahui sesungguhnya pesantren memang tidak bisa menjamin seratus persen anak-anak didiknya menjadi peribadi yang baik, tetapi hingga saat ini pesantren diyakni dan terbukti menjadi tempat yang terbaik dalam membina, mendidik, dan mengajarkan keagamaan. Sebagai muslim, berusaha untuk melahirkan sebuah cita-cita adalah wajib, tetapi berhasil meraih cita-cita adalah tidak wajib, karena pada hakikatnya yang mewujudkan kesuksesan adalah hak prerogratifnya Allah SWT. Dalam permasalahan ini, pesantren tidak serta merta mutlak disalahkan, namun juga kembali kepada pribadi santri tersebut. Untuk itu, pertama yang perlu diperhatikan ialah santri harus paham betul kelima poin yang telah diterangkan di atas. Kemudian bila dirasa belum matang di pondok, jangan terburu-buru boyong/ pulang kampung, khawatir ibarat nasi yang belum matang lalu dimakan akan berakibat sakit perut. Kemudian yang terakhir, santri harus berserah diri meminta ridho dan do’a kepada gurunya sebelum meninggalkan pesantren, karena dengannya akan datang Ilmu yang manfaat.

Penulis: Suhardi Suwrdoyo


1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *