HIKMAH IBADAH HAJI

Published by Ponpes Anwarul Huda on

Oleh : KH. Muhammad Baidlowi Muslich

Alhamdulillah pada saat ini kita masih tetap beriman, Kemudian marilah kita tingkatkan taqwa kita kepada Allah secara istiqomah selama hidup kita, Semoga akhirnya Khusnul Khotimah, amien.

Sebagaimana kita maklumi bahwa pada bulan Dzulhijjah telah berkumpul di tanah suci Makkah jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia. Mereka adalah saudara-saudara kita yang telah bersiap-siap menunaikan ibadah Haji memenuhi seruan Allah dalam kitab suci-Nya:

Artinya: “mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” (Ali Imron: 97)

Diantara ketentuan syar’i dalam melaksanakan ibadah Haji dan Umroh adalah memulai dengan ihrom dan berpakaian ihrom. Dua lembar kain putih tidak berjahit bagi jemaah laki-laki. Harus sudah digunakan sejak berada di Miqot.

Dengan pakaian ihrom serba putih ini menjadi hilanglah perbedaan-perbedaan status sosial umat manusia. Dalam menghadap kepada Allah ‘azza wajalla itu menjadi sama antara Raja dengan rakyat jelata, pejabat tinggi dengan orang biasa, si kaya dengan si miskin, orang berpangkat dengan orang melarat. Semua atribut keegoisan (ananiyyah) haruslah ditinggalkan: ras, suku, kelompok, tanda pangkat, tanda kehormatan dan sebagainya. Mereka semuanya sama di hadapan Allah. Yang berbeda ialah taqwanya. Siapakah yang paling bertaqwa kepada Allah, itulah yang paling mulia di sisi-Nya. Dengan demikian sangat mungkin terjadi bahwa satu orang pekerja lebih mulia daripada majikannya, dan orang miskin lebih terhormat dan bahagia daripada orang kaya. Karena apa? Tidak lain adalah karena Taqwanya kepada Allah. Firman_Nya dalam Al-Qur’an :

Artinya: “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa kepada Allah.” (QS Al-Hujurat:13).

Dengan ucapan Talbiyyah mereka menghadap dan mengharap Ridho Allah. Allah berfirman :

Yang artinya:Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah dan tiada sekutu apapun bagi-Mu. Sesungguhnya puji, nikmat, dan kekuasaan hanya bagi-Mu tanpa sekutu apapun bagi-Mu

Peristiwa haji merupakan gerakan raksasa. Manusia bertiqod kembali kepada Allah yang Maha Pencipta, lebur benar-benar menjadi manusia yang sesungguhnya, mencoba untuk menemukan jati dirinya yang haqiqi: yaitu sebagai hamba Allah.

Ketika Talbiyah yang bersahut-sahutan berhenti, diganti oleh keheningan, pertanda bahwa Baitullah telah berada di hadapan mata, niscaya air mata meleleh dengan sendirinya, sebagai hasil curahan rasa iman dan kekaguman yang bersemayam di lubuk hati orang mukmin.

Thowaf dengan mengelilingi Ka’bah tujuh kali melambangkan perjalanan hidup manusia dari hari ke hari berikutnya. Tidak lepas dari pasang surut kehidupan. Semuanya harus dihadapi dengan penuh kesabaran dan tawakkal kepada Allah, sebagaimana Firman-Nya:

Artinya: “Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, sesungguhnya akan Kami tempatkan mereka pada tempat-tempat yang tinggi di dalam surga, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal, (yaitu) yang bersabar dan bertawakal kepada Tuhannya.” (Al-Ankabut: 58-59)

Sa’i yang hanya terbatas diantara bukit Shofa dan Marwah melambangkan perjuangan manusia dengan mengerahkan tenaganya untuk memperoleh kehidupan yang layak, namun harus menyadari adanya batas-batas dan norma-norma yang berlaku, agar memperoleh rizki yang halal dan diridhoi oleh Allah.

Wuquf di ‘arofah setidaknya menggambarkan keadaan manusia pada hari kiamat nanti dalam menghadapi hisab untuk menerima putusan akhir dari yang Maha Adil, Sungguh berbahagialah pada saat itu orang-orang yang paling bertaqwa kepada Allah.

Terakhir adalah melempar jumroh yang menggambarkan betapa umat manusia harus waspada terhadap godaan Syaitan, karena Syaitan adalah musuh bebuyutan anak cucu Adam. Firman Allah menyatakan:

Artinya: “Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)

Harus waspada dikarenakan Syaitan berusaha terus menerus mendekat dan menyatu dengan hawa nafsu, membujuk dan menipu anak cucu Adam agar durhaka kepada Allah, meninggalkan perintah-perintahNya dan melanggar larangan-laranganNya, sehingga mereka berhasil menyeret umat manusia ke dalam api neraka. Maka lemparlah Syaiton itu dengan banyak berdzikir menyebut nama Allah.

Memang tidak ada yang memungkiri bahwa ibadah haji merupakan ibadah yang sangat nikmat dan sangat menjanjikan, tiada balasan bagi haji mabrur selain surga. Hal ini membuat setiap muslim berkeinginan tinggi untuk bisa ibadah haji.

Bagi yang berkelebihan harta, tentunya ingin terus menerus setiap tahun beribadah haji dikarenakan nikmat tadi. Namun perlu diingat bahwa tanpa mengurangi fadhilah ibadah haji, bahwa kewajiban-kewajiban kita yang lain terhadap kepentingan Islam dan umat Islam masih banyak. Rumah-rumah Allah berupa Masjid sudah tidak memadai. Tempat-tempat pendidikan Islam masih merana. Fuqoro’ Masakin belum terfikirkan. Padahal harta yang dishodaqohkan untuk itu semua termasuk amal jariyah yang pahalanya tidak kalah besarnya dan tidak akan putus-putus sampai sesudah mati.

Demikianlah semoga hal ini kita jadikan sebagai bahan renungan yang bermanfaat bagi kita masing-masing maupun bagi perkembangan Islam dan umat Islam. Aamiin


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *