Sikap Ummatan Wasathan Untuk Mewujudkan Islam yang Damai

Published by Ponpes Anwarul Huda on

Sikap Ummatan Wasathan Untuk Mewujudkan Islam yang Damai

Oleh: Fathurrahman Jamil

Dan demikian (pula) Kami menjadikan kamu (umat Islam) ummatan  wasathan (umat yang adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan manusia) dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu

(QS.Al Baqarah : 143)

Kemajemukan Bangsa

Bangsa kita terkenal dengan bangsa majemuk ditandai dengan banyaknya suku, ras, agama, bahasa, budaya dan adat istiadat. Untuk masalah agama bangsa kita menjamin kebebasan beragama di Indonesia yaitu pasal 28 E ayat 1 Undang- Undang Dasar tahun 1945 yang berbunyi “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali[1].

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya [2]. Di Indonesia, istilah agama digunakan untuk menyebut enam agama yang diakui resmi oleh negara, seperti Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu.

Akhir-akhir ini masyarakat indonesia sering mengalami gesekan sosial, terutama antar umat beragama.  Indonesia seharusnya menjadi tempat yang damai dan penuh nikmat bagi seluruh manusia. Namun, ini tergantung pada diri kita masing- masing, apakah mau hidup rukun dan damai atau sibuk mencari perbedaan dan saling bertikai satu sama lain.

Untuk mengatasi hal itu, diperlukan sikap tasamuh atau toleransi kepada umat beragama lainnya, Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Toleransi  berasal dari kata “toleran” berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) terhadap pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya sendiri[3].

Toleransi dalam islam adalah toleransi sosial kemasyarakatan, bukan toleransi dibidang aqidah dan keimanan. Dalam aqidah dan keimanan seorang muslim hanya meyakini bahwa agama islam adalah satu-satu agamanya yang diridhoi Allah SWT.

Sikap toleran harus selalu tercermin pada diri masyakat Indonesia, sebab sikap toleran atau tasamuh adalah salah satu ciri khas yang dimiliki oleh bangsa indonesia dan telah diakui oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia. Bangsa kita adalah bangsa yang sangat menghargai perbedaan, dimana bisa kita lihat sendiri dengan berbagai macam perbedaan tersebut bangsa kita mampu hidup rukun dan damai. Dengan keramahan dan keberagaman bangsa kita inilah yang menjadi daya tarik bangsa-bangsa lain untuk berkunjung ke Indonesia. Mereka merasa Indonesia sangat baik untuk dikunjungi dan menjadikan pelajaran bagi bangsa lain bagaimana menjadi berbeda itu tidak harus bermusuhan dan membenci satu sama lain, melainkan ikut menjaga dan menyayangi satu sama lain.

Dasar Toleransi dalam Al-Quran

Anggapan bahwa agama islam sangat tidak toleran tidak dibenarkan. Pasalnya dalam Al-Quran sangat jelas akan firman Allah SWT kepada umat islam bagaimana batasan-batasan umat muslim untuk bertoleransi. Dalam islam tidak dibenarkan adanya pemaksaan dalam agama hal  ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Quran yang berbunyi : “ Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui ”(Q.S Al Baqarah : 256).

Islam menyadari dan mengakui kenyataan perbedaan agama sebagai kodrat yang diciptakan oleh Allah pada diri setiap manusia, bahwa setiap orang secara naluriah memang memiliki kecenderungan berbeda, termasuk dalam menentukan dan memilih agama yang dijadikan panutan. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Quran yang berbunyi: “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? ( Q.S Yunus :99).

Prinsip kebebasan tanpa paksaan ini hanya berkaitan dengan kebebasan memilih agama Islam atau selainnya. Tetapi kalau seseorang sudah menentukan pilihan kepada Islam misalnya, maka tidak ada kebebasan memilih lagi, dia harus patuh dan taat menjalankan ajaran Islam secara total,  tidak ada lagi kebebasan memilih melaksanakan sebagian ajaran dan menolak sebagian ajaran yang lain. Adalah keliru kalau ada orang Islam, misalnya, yang berkata bahwa dia bebas mau taat atau tidak, karena tidak ada paksaan dalam beragama Islam. Ayat 256 Surat al-Baqarah ini, sekali lagi, adalah dalam konteks seseorang bebas menentukan dan memilih agama yang akan dijadikan panutan, bukan bebas memilih antara mau melaksanakan atau tidak sebagian ajaran agama yang sudah menjadi pilihan. Itulah sebabnya, setiap ketaatan dalam Islam mendapat balasan pahala dan setiap pelanggaran mendapat sanksi [4].

Untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa diperlukan kesadaran individu dan kesadaran kelompok sebagai wujud kesetian warga negara pada negara. Secara individual warga negara harus memiliki kesadaran bahwa ada perbedaan diantara kehidupan manusia. Kesadaran perbedaan ini akan menimbulkan interaksi sosial antar umat beragama untuk dapat saling memberi dan saling menerima dalam kesetaraan. Sedangkan kesadaran kelompok memandang konflik sosial merupakan hasil dari perbedaan kepentingan sosial di masyarakat, maka oleh karena itu pemimpin kelompok memiliki peran penting dalam menjaga persatuan dan kerukunan umat beragama.

Toleransi tidak cukup hanya dipahami dan dilakukan, melainkan dijadikan sebagai kebutuhan. Karena kita beragam, sesuatu yang beragam ini membutuhkan sesuatu untuk disikapi dengan toleransi. Toleransi adalah kebutuhan didalamnya ada kemampuan untuk memahami perbedaan sekaligus menghargai perbedaan tersebut. Sehingga masing-masing kita tetap harmonis dan ada dalam keselamatan.

Namun jangan terlalu berlebihan memaknai toleransi, karena bila terlalu semangat bertoleransi menyebabkan agama menjadi sama dan tidak dapat dibedakan. Toleransi yang dipahami secara berlebihan inilah yang menyebabkan keyakinan seorang pemeluk agama islam menjadi terganggu. Prinsipnya harus jelas toleransi tetap terjadi, namun aqidah setiap agama tetap terjaga. Inilah yang harus disikapi dengan bijaksana agar kehidupan beragam ini tetap terjaga.

Ummatan Washatan Sebagai Jawaban

Dalam menghadapi perbedaan ini umat islam indonesia dalam hal ini terbagi menjadi beberapa golongan yaitu EKA (Ekstrim kanan) dan EKI (Ekstrim kiri). Ekstrim kanan beranggapan semua agama selain islam salah dan mereka harus dibunuh, dipancung kepalanya, diambil istri-istrinya, hartanya halal diambil dan diperkenankan untuk diledakan kedutaannya. Sedangkan Ekstrim kiri beranggapan semua agama benar, yahudi benar nasrani benar konghucu benar hindu benar budha benar.

Ekstrim kanan dan Ekstrim kiri tersebut tidak dibenarkan, umat islam itu adalah Ummatan washatan hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al Quran  yang berbunyi : “Dan demikian (pula) Kami menjadikan kamu (umat Islam) ummatan  wasathan (umat yang adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan manusia) dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu (QS.Al Baqarah : 143).

Ummatan Washatan adalah umat yang bersikap, berpikiran dan berperilaku moderat, adil serta proposional. Islam bukan agama yang melampaui batas sebagaimana firman Allah SWT didalam Al Quran: “Dan perangilah di jalan Allah orang orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui batas “(QS.Al Baqarah : 190 ).

Islam tidak mengatakan semua orang yang berbeda dengan agama islam halal darahnya dan wajib dibunuh, dan agama islam juga tidak mengatakan bahwa seluruh agama itu benar, yang benar dan diridhoi oleh Allah SWT hanyalah agama islam, hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Quran : “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam, tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (QS Ali Imran: 19).

Bila kita lihat pada zaman Rasulullah SAW sikap moderat,adil serta proposional telah dicontohkan oleh Nabi dan pengikutnya, bagaimana ketika Fathul mekah terjadi Nabi membiarkan mereka dan menghormati untuk memeluk dan melaksanakan ibadah agama mereka. Perlu diketahui pada saat penaklukan kota mekah, penduduk kota mekah masih musyrik atau menyembah selain Allah SWT.

Bisa kita lihat pula bagaimana Rasulullah membuat piagam madinah, yang menggalang kerukunan antar suku dan agama, dimana di madinah bermukim juga orang-orang yahudi yang terdiri dari tiga suku besar yaitu Quraizhah, an-Nadhir dan Qainuqa, di samping kaum musyrikin Nasrani dan Arab badui. Jika dicermati, dalam Piagam Madinah terdapat isu utama mengenai kerukunan, yakni kerukunan antar pemeluk agama Islam (kaum Muslim), baik kelompok pribumi Madinah (kaum anshar) maupun kelompok pendatang dari Makkah (kaum muhajirin), maupun kerukunan antar berbagai pemeluk keyakinan dan suku-suku yang ada dan tinggal di Madinah.

Santri dalam hal ini saya sendiri akan terus menjadi kelompok yang Ummatan Washatan, yakni kelompok yang dapat hadir membangun masyarakat,budaya, pendidikan, kesehatan dan kemanusiaan ditengah-tengah kemajemukan bangsa Indonesia.

Kiai Said dalam tausyiahnya pada pembukaan Konferensi Wilayah Nahdlatul Ulama Sumatera Selatan berpesan setiap sikap tengah harus punya argumentasi ilmiah, sehingga menjadi Ummatan Washatan tidaklah mudah. Jauh sebelum NU dan NKRI lahir tambahnya, Hadratussyaikh KH.Hasyim Asyari sudah memiliki pandangan yang visioner. Yakni menggagas semangat agama (Ukhuwah Islamiyah) harus pararel dengan semangat berbangsa dan nasionalisme (Ukhuwah Wathaniyah)[5]. Ukhuwah Islamiyah adalah keterikatan hati dan jiwa satu sama lain dengan ikatan aqidah, sedangkan Ukhuwah Wathaniyah artinya keterikatan hati dan jiwa dalam ikatan kebangsaan.

Keberagaman bangsa Indonesia adalah sunatullah, maka oleh sebab itu harus dipelihara dan dijaga yang bisa menjadi sebuah kekuatan dan potensi untuk bersaing dan berkompetisi dengan bangsa bangsa lain. Dalam kehidupan sehari-hari, dalam kehidupan bermu’amalah kita semua terikat dengan ikatan kemanusiaan, kita berhak bekerjasama dengan mereka nonmuslim selama tidak membawa paksaan dalam aqidah.

Kehidupan berbangsa dan bernegara harus dijaga, jangan sampai ada saling menyalahkan, mencemoh, saling fitnah, saling menjelek-jelekan karena itu bukan budaya bangsa dan tidak dibenarkan dalam islam. Ukhuwah Wathaniyah kita, sebagai bangsa, sebagai saudara setanah air bahwa kita hidup berbeda-beda, tetapi kita ini saudara. Ukhuwah wathaniyah harus didahulukan, baru kemudian Ukhuwah Islamiyah. Jika persaudaraan bangsa ini sudah kokoh, sangat mudah membangun persaudaraan sesama umat islam.

Mewujudkan Islam yang Damai

            Sudah menjadi tugas bersama orang-orang beragama untuk menjaga keberagaman di Indonesia. Hal ini tidak lepas karena masyakat Indonesia adalah bangsa yang religius dan beragama. Cara yang paling efektif untuk merawat keragaman itu adalah dengan cara menghadirkan nilai-nilai religius sebagai perekat dan daya tarik sosial yang mampu melahirkan tingkah laku, pemahaman dan kesadaran untuk saling menjunjung eksistensi antar sesama manusia.

Dalam menerapkan sikap toleran, seseorang harus memiliki jiwa yang besar dan menerima segala keragaman. Jika seseorang tidak memiliki jiwa yang besar dan mudah menerima keragaman maka akan sangat sulit menerapkan sikap toleran. Mengingkari keanekaragaman ciptaan Allah SWT tersebut sama artinya mengingkari semua ciptaan Allah SWT.

Akhir kata saya mengutip ungkapan Prof.Dr. H. Quraish Shihab: “Islam adalah agama yang damai yang mencintai kemanusiaan. Ia membawa rahmat dan kedamaian bagi seluruh alam. Bahkan walau dalam keadaan bermusuhan, Islam tetap memerintahkan kejujuran tingkah laku dan perlakuan yang adil” [6].

Sumber referensi :

[1] UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 E ayat 1

[2] Diambil dari situs https://kbbi.web.id  diakses pada 18 Oktober 2017

[3] Diambil dari situs https://kbbi.web.id  diakses pada 18 Oktober 2017

[4] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‘an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992), 368.

[5] Diambil dari situs http://www.nu.or.id diakses pada 18 Oktober 2017

[6] Diambil dari situs http://quraishshihab.com Diakses pada 18 Oktober 2017

 


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *