PESANTREN DAN KLASTER BESAR COVID-19?

Published by Ponpes Anwarul Huda on

Covid-19 masih menjadi perbincangan hangat di berbagai media baik online, cetak maupaun TV. Sudah mulai banyak media-media yang  isi beritanya memuat konten berupa edukasi yang baik dan benar bagaimana cara mengatasi covid dan pencegahannya yang sesuai dengan kondisi di lapangan. Berkat edukasi yang diberikan sesuai dan tepat sasaran, menjadikan masyarakat patuh untuk mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan.

Pada beberapa waktu lalu telah viral dari sebuah stasiun swasta yang menyiarkan informasi bahwa pesantren menjadi ancaman berbahaya akan penyebaran virus covid-19. Pesantren yang menjadi tempat tinggal banyak orang dalam satu lokasi dianggap menjadi kemungkinan terbesar dari penyebaran virus ini. Dengan rasari yang menyudutkan menjadikan kepanikan masyarakat luas terkhusus para walisantri. Hal ini memberikan stigma negative bahwa santri menjadi ancaman akan menjadi pembawa virus. Padahal, jika kita lebih teliti lagi, apakah pemberitaan tersebut didasarkan dengan kondisi di seluruh pesantren Indonesia? Tentu tidak, besar kemungkinan dasar yang dipakai hanya satu pesantren saja yang diduga ada santri yang terkena virus covid-19.

Dengan minimnya data dan sumber referensi yang jelas dan terpercaya, pemberitaan yang dilakukan oleh media massa menyudutkan pesantren sebagai ancaman berbahaya bagi masyarakat. Tidak selayaknya hal ini diberitakan secara berlebih dengan tingkat kevalidan yang belum teruji. Bukan hanya pesantren sebagai tempat berkumpulnya banyak orang, akan tetapi bis akita lihat tempat-tempat lain seperti mall, pasar, perkantoran, coffe, rumah makan, dan masih banyak lainnya. Jika kita cermati dengan seksama, bahwa tingkat penyebaran virus covid-19 ini seharusnya kecil dan terkendali. Hal ini dikarenakan bahwa santri di pesantren hanya berinteraksi dengan santri lainnya pada satu tempat tersebut sehingga jika pada awal kedatangan santri telah melakukan isolasi mandiri selama 14 hari dan dalam kondisi sehat, maka tidak ada satupun yang membawa virus di pesantren. Berbeda halnya dengan tempat-tempat umum lainnya, di mana orang bertemu dan berkumpul dari lokasi yang berbeda tanpa adanya isolasi mandarin 14 hari sehingga belum dipastikan jika mereka yang berinteraksi membawa atau tidaknya virus.

Sedikit mengherankan apabila medi massa menyorot pesantren sebagai ancaman besar dalam penyebaran virus sedangkan media massa menanggapi biasa saja tempat-tempat umum lainnya yang juga notabene berisiko tinggi dalam penyebaran virus covid-19. Mengapa justru menjadikan pondok pesantren sebagai headline beritanya? Apakah pesantren menjadi sebuah nilai komersil tinggi untuk dijadikan sebuah hot news? Bagaimana jika praduga yang diberitakan ternyata sangat jauh berbeda dengan kondisi real di pesantren?

Meskipun pesantren sebagai lembaga sosial non profit akan tetapi dalam operasionalnya dikelola dengan melalui perizinan dan pengawasan pemerintah daerah setempat. Begitupula dalam proses pembukaan kembali kegiatan pesantren pasca libur panjang pada awal pandemi mewabah, yang mana pesantren yang akan memulai kegiatannya diwajibkan melakukan perizinan dan konfirmasi kepada devisi PD Pontren dari Kemenag Daerah. Kemenag Daerah memberikan izin kepada pesantren yang telah memenuhi persyaratan dan siap dalam penyeleneggaraan dengan adaptasi baru (new normal). Ada banyak persyaratan ketat yang harus dipenuhi oleh pesantren, seperti penyediaan fasilitas cuci tangan, handsanitizer, alat penyemprotan disenfektan, masker, dan masih banyak lainnya yang digunakan sebagai penunjang pelaksaan new normal. Selain itu, pengembalian santri ke pesantren pun dengan prosedur yang ketat, seperti menggunakan kendaraan pribadi atau dikordinir untuk kembali bersama per-kota, periksa kesehatan sebelum Kembali ke peantren, kedatangan bertahap dari pembagian santri keseluruhan, isolasi mandiri selama 14 hari sebelum dan sesudah tiba dipesantren. Selanjutnya, dengan pemenuhan banyaknya persyaratan tersebut bartu diperbolehkan mengikuti kegiatan pesantren, dengan menjalankan protokol kesehatan seperti senantiasa memakai masker dan cuci tangan. Dan juga telah dibatasi akses pihak luar kepada penghuni pesantren, termasuk orang tua dilarang berkunjung ke pesantren. Ataupun diperbolehkan berkunjung di pesantren akan tetapi tidak menemui santri secara langsung, melainkan dari kejauhan saja.

Menjadikan pondok pesantren sebagai headline berita dengan menyebutnya sebagai kluster besar penyebaran covid di Indonesia tentu menimbulkan reaksi yang beragam. Orang tua santri yang begitu khawatir dengan kabar tersebut, beberapa pengasuh pondok pesantren yang menyayangkan adanya berita tersebut, beberapa santri pegiat media sosial juga menyatakan hal yang serupa, salah satunya akun ig @cahpondok. Dalam sebuah instastory admin atau biasa disebut lurah @cahpondok menyatakan “Dari berbagi elemen masyarakat, ataupun lembaga, pesantren adalah salah satu lembaga yang sangat patuh protokol kesehatan, dan turut mensosialisasikan gerakan memkai masker, ingat pondok pesantren adalah lembaga yang sangat patuh hukum!!. Saat pemerintah mulai melakukan skema new normal, barulah pesantren berani memasukkan kembali santri dari berbagai daerah, itupun dengan prosedur yang sangat ketat, yang biasanya santri bisa berangkat sendiri-sendiri, kali ini santri bener-benar dikordinir sedemikian rupa, agar ketika masuk pondok terbebas dari COVID-19, mulai isolasi 14 hari sebelum berangkat, dan setelah masuk pesantren.

Kekecewaan terhadap media yang memberitakan kasus di pesantren banyak diungkapkan oleh berbagai pihak. Nyatanya pesantren telah menjalankan protokol kesehatan secara ketat sesuai instruksi dari pemerintah. Dengan tingkat kemungkinan munculnya virus covid-19 di pesantren menjadi sangat kecil jika pesantren patuh dan taat menjalankan standar protokol kesehatan tersebut. Adapun kemungkinan terburuk (naudzubillah) jika santri ada yang terinvesksi virus covid-19, maka penanganannya pun dapat dikatakan lebih mudah ditangani, dari segi tindak penanggulangan. . Selain itu guna memberikan gambaran penanganan yang terkendali andai kata muncul kasus, antara lain:

  1. Tracing (pelacakan) penderita lebih cepat dan tepat.
  2. Isolasi akan lebih mudah karena memang sudah terpusat di satu gedung atau wilayah pesantren.
  3. Skema pemberian tindakan kesehatan telah disiapkan oleh pesantren.
  4. Bisa membatasi akses orang luar yang ingin masuk pesantren.
  5. Kemungkinan sembuh begitu tinggi, karena mayoritas santri masih muda.
  6. Anak pesantren nurut dan ta’dzim kepada kiai sehingga mudah untuk dikordinir.

Dapat disimpulkan bahwasanya pemberitaan secara berlebih dalam kasus penyebaran covid-19 di lingkungan pesantren memberikan stigma negative dan munculnya kepanikan masyarakat. Hal ini seolah-olah menakut-nakuti walisantri yang memondokkan anaknya Ketika pandemic seperti ini. Jika kita menengok kasus yang telah terjadi di beberapa pesantren dapat diselesaikan dan ditangani dengan cepat dan aman, tidak seperti kecurigaan dari media massa tadi. Terkadang berita negatif lebih berbahaya daripada kasus itu sendiri. Kekhawatiran yang berlebih justru menimbulkan kepanikan dan keresahan bagi walisantri dan para santri itu sendiri. Hal ini justru bisa memicu turunnya semangat dan daya imun para santri. Dukungan dan support lah yang paling dibutuhkan pesantren jikapun terjadi kasus sehingga menjadi motivasi untuk sembuh tanpa takut terkucilkan masyarakat.

Penulis: Wahyu Fahriyan.

Editor: Muhammad Bastomi


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *