MODERASI BERAGAMA & PLURALISME
Penulis : Royyan Zain
Moderasi beragama dan pluralisme menjadi popular dalam beberapa tahun terakhir. Namun, gagasan ini masih sangat relevan untuk dihayati dan dapat dimplementasikan oleh kita selaku warga negara Indonesia yang notabene memiliki masyarakat yang majemuk dan pluralitas tinggi, artinya beragam, ras, suku, budaya, bahasa dan agama. Jadi pluralisme itu sendiri merujuk pada suatu negara seperti Indonesia yang majemuk terutama dalam hal agama. Bagaimanakah sebaiknya menyikapi realita pluralitas ini? Ini merupakan persoalan bersama dan problema semua orang.
Seperti yang kita ketahui disamping budaya, Indonesia terdiri atas berbagai macam agama. Dikutip dari sensus resmi yang dirilis pada tahun 2020, oleh Badan Pusat Statistik Indonesia pada tahun 2018, 86,7% penduduk Indonesia beragama Islam, 10,72% Kristen, 1,74% Hindu, 0,77% Buddha, 0,03% Konghucu, dan 0,04% aliran kepercayaan atau agama lainnya. Keberagaman ini ternyata bisa menimbulkan berbagai persoalan kebangsaan, dan Islam sebagai agama mayoritas harus mengambil peran untuk menyetabilkan negara.
Dalam ilmu sosiologi kehidupan masyarakat yang pluralis ini memiliki dua dampak yaitu dampak positif dan juga dampak negatif. Dampak positifnya yakni asosiatif (hubungan semakin erat) dan dampak negatifnya yakni disosiatif (hubungan merenggang). Teori sosial menjelaskan perbedaan dalam keberagaman berpotensi menimbulkan konflik, sehingga dibutuhkan berbagai cara pandang baik pemahaman secara filosofis maupun historis.
Mengutip dari Kemdikbud, setidaknya terdapat 4 faktor utama yang sering kali jadi penyebab konflik sosial. Keempatnya adalah: perbedaan antar-individu; perbedaan kebudayaan dan latarbelakang individu maupun kelompok; perbedaan kepentingan; dan perubahan sosial yang terlalu cepat. Selain itu, masih banyak faktor lain yang bisa memicu konflik sosial. Namun kenapa Indonesia bisa merdeka?
Apabila kita tinjau secara historis, bahwa Indonesia eksis menjadi sebuah negara yang merdeka tidak didirikan oleh satu atau dua golongan saja tetapi Indonesia didirikan oleh banyak golongan kemudian bersatu (Bhineka Tunggal Ika), artinya para founding father kita memahami betul dan mengimplementasikan pentingnya kebersamaan, gotong royong, dan prinsip-prinsip toleransi guna mewujudkan kemerdekaan pada saat itu meskipun ditengah perbedaan.
Ya para founding father kita sangat hebat bisa menyatukan bangsa yang majemuk atau plural, sehingga kita perlu hadir memberikan kesadaran historis, apalagi mengingat disituasi sekarang ini tantangan kebangsaan semakin beragam. Di era sekarang ini kita mempunyai visi besar dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia sesuai yang tercntum dalam UUD 1945, diantaranya kita perlu memahami betul pluralisme dan moderasi beragama sehingga tidak terjebak dalam hal-hal pemikiran yang tekstual.
Sesungguhnya kita telah menaifkan diri dan mengatakan diri kita sebagai penganut Islam, tapi belum tentu bahwa pikiran kita telah berjalan sesuai dengan Islam. Faktanya, timbulnya berbagai dinamika dan sentiment keagamaan seperti intoleransi, gerakan keagaamaan ekstrim bahkan radikal merupakan bukti bahwa masyarakat kita masih lemah dalam memaknai pluralisme agama dan moderasi beragama, sehingga ini akan menjadi penghambat dalam kemajuan peradaban kita.
Moderasi beragama dan pluralisme menjadi popular dalam beberapa tahun terakhir. Namun, gagasan ini masih sangat relevan untuk dihayati dan dapat dimplementasikan oleh kita selaku warga negara Indonesia yang notabene memiliki masyarakat yang majemuk dan pluralitas tinggi, artinya beragam, ras, suku, budaya, bahasa dan agama. Jadi pluralisme itu sendiri merujuk pada suatu negara seperti Indonesia yang majemuk terutama dalam hal agama. Bagaimanakah sebaiknya menyikapi realita pluralitas ini? Ini merupakan persoalan bersama dan problema semua orang.
Seperti yang kita ketahui disamping budaya, Indonesia terdiri atas berbagai macam agama. Dikutip dari sensus resmi yang dirilis pada tahun 2020, oleh Badan Pusat Statistik Indonesia pada tahun 2018, 86,7% penduduk Indonesia beragama Islam, 10,72% Kristen, 1,74% Hindu, 0,77% Buddha, 0,03% Konghucu, dan 0,04% aliran kepercayaan atau agama lainnya. Keberagaman ini ternyata bisa menimbulkan berbagai persoalan kebangsaan, dan Islam sebagai agama mayoritas harus mengambil peran untuk menyetabilkan negara.
Dalam ilmu sosiologi kehidupan masyarakat yang pluralis ini memiliki dua dampak yaitu dampak positif dan juga dampak negatif. Dampak positifnya yakni asosiatif (hubungan semakin erat) dan dampak negatifnya yakni disosiatif (hubungan merenggang). Teori sosial menjelaskan perbedaan dalam keberagaman berpotensi menimbulkan konflik, sehingga dibutuhkan berbagai cara pandang baik pemahaman secara filosofis maupun historis.
Mengutip dari Kemdikbud, setidaknya terdapat 4 faktor utama yang sering kali jadi penyebab konflik sosial. Keempatnya adalah: perbedaan antar-individu; perbedaan kebudayaan dan latarbelakang individu maupun kelompok; perbedaan kepentingan; dan perubahan sosial yang terlalu cepat. Selain itu, masih banyak faktor lain yang bisa memicu konflik sosial. Namun kenapa Indonesia bisa merdeka?
Apabila kita tinjau secara historis, bahwa Indonesia eksis menjadi sebuah negara yang merdeka tidak didirikan oleh satu atau dua golongan saja tetapi Indonesia didirikan oleh banyak golongan kemudian bersatu (Bhineka Tunggal Ika), artinya para founding father kita memahami betul dan mengimplementasikan pentingnya kebersamaan, gotong royong, dan prinsip-prinsip toleransi guna mewujudkan kemerdekaan pada saat itu meskipun ditengah perbedaan.
Ya para founding father kita sangat hebat bisa menyatukan bangsa yang majemuk atau plural, sehingga kita perlu hadir memberikan kesadaran historis, apalagi mengingat disituasi sekarang ini tantangan kebangsaan semakin beragam. Di era sekarang ini kita mempunyai visi besar dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia sesuai yang tercntum dalam UUD 1945, diantaranya kita perlu memahami betul pluralisme dan moderasi beragama sehingga tidak terjebak dalam hal-hal pemikiran yang tekstual.
Sesungguhnya kita telah menaifkan diri dan mengatakan diri kita sebagai penganut Islam, tapi belum tentu bahwa pikiran kita telah berjalan sesuai dengan Islam. Faktanya, timbulnya berbagai dinamika dan sentiment keagamaan seperti intoleransi, gerakan keagaamaan ekstrim bahkan radikal merupakan bukti bahwa masyarakat kita masih lemah dalam memaknai pluralisme agama dan moderasi beragama, sehingga ini akan menjadi penghambat dalam kemajuan peradaban kita.
Sejalan dengan persoalan kebangsaan ini, tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU), Ulil Abshar Abdala pun pernah mengungkapkan dalam sebuah seminar kebangsaan, saat ini Indonesia sedang menghadapi situasi yang krusial. Ia menerangkan, ujian ini bukan merupakan ujian yang khas Indonesia. Tetapi ujian yang sebetulnya merupakan gejala global. Ia menjelaskan, bentuk yang positif adalah memperkuat ikatan-ikatan di luar keagamaan. Tetapi juga ada kebangkitan keagamaan atau sentimen keagamaan yang bisa menegasikan dan menafikan bahkan kontradiktif dengan sentimen kebangsaan.
“Apa yang saya sebut sebagai situasi yang krusial sekarang ini adalah, kita memang sedang menghadapi satu ujian. Jadi ada kebangkitan sentimen keagamaan, kebangkitan sentimen keagamaan ini bisa mewujud di dalam bentuk yang positif, tetapi juga bisa dalam bentuk yang negatif,” demikian kata Ulil saat menjadi narasumber Seminar Nasional Kebangsaan bertema Menuju Masyarakat yang Lebih Beradab di PBNU, Jakarta, 2014 dikutip dari republika.com, pada Selasa, 8 Maret 2022.
Sementara itu Ahmad Wahib dalam bukunya berudul Pergolakan Pemikiran Islam menilai bahwa terdapat kevakuman dalam filsafat islam, sehingga menjadi muslim yang emosian. “Saya pikir hal ini disebabkan oleh kevakuman filsafat Islam. Akibatnya kita cuma menjadi muslim emosional,”. Melihat hal ini, menurut saya pluralisme merupakan satu-satunya cara pandang dalam memaknai keberagaman agama. Sesuai dengan pengertiannya, plural (beragam) dan isme (paham) sehingga memiliki arti paham atas keberagaman. Dalam hal ini sangat penting memahami pluralisme agama, disamping pluralisme budaya, sosial, dan ilmu pengetahuan.
0 Comments