Pesantren Adalah Sebuah Jawaban
Oleh: M. Fahmi
“…Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai…” QS. al-A’raf: 179.
“Beruntunglah mereka yang berada di pesantren yang kemudian menimba sekaligus mengamalkan ilmu agama. Jujur, saya saja harus nekat membuat pesantren di dalam kampus negeri. Padahal sebetulnya hal tersebut tidak diperbolehkan. Tapi saya benar-benar nekat. Sebab jika tidak ada pesantrennya, maka mahasiswa tidak akan pernah bisa menjadi pintar. Menjadi pintar saja tidak bisa, apalagi menjadi baik. Baik itu kan berada di atasnya pintar,” begitulah tutur Prof. H. Imam Suprayogo dalam mau’idhoh hasanahnya di acara al-Halaqah al-‘Ilmiyyah yang diselenggarakan di Ponpes Anwarul Huda (24/2/17).
Mondok di pesantren itu penting. Dikatakan penting bukan sekadar basa-basi, tapi hal ini memang sebuah esensi. Tidak akan pernah bisa tercapai cita-cita lahirnya intelek yang ulama’, apalagi ulama’ yang intelek jika tidak mondok di pesantren. Malah akan menjadi tidak jelas: disebut intelek kok begitu, disebut ulama’ kok ya begitu. Bahkan kadang-kadang memalukan. Ada kisah nyata yang menarik. Diceritakan ada seorang mahasiswa yang telah diwisuda dari sebuah kampus. Kabar lulusnya mahasiswa itu terdengar hingga ke telinga para tetangganya. Hingga masyarakat mengira bahwa mahasiswa tersebut sudah pintar, sudah siap terjun dan menerapkan ilmunya di dunia masyarakat. Disuruhnya mahasiswa tersebut untuk mengimami sholat di masjid, kemudian juga memimpin tahlil, memimpin do’a, istighosah, khotbah, dan acara keagamaan lainnya. Hal yang demikian kemudian malah menjadi beban bagi mahasiswa tersebut. Ijazah itu membebaninya, karena jika pergi ke mana saja ia menjadi bingung: akan disuruh ini, disuruh itu. Akhirnya ia datang ke kampus untuk mengembalikan ijazahnya. Sungguh cerita yang memalukan. Itulah sebabnya, seseorang tidak cukup hanya dengan menjadi mahasiswa saja. Harus sekaligus mondok di pesantren. Karena jika hanya mengandalkan kuliah, maka dapat dipastikan ia akan menjadi bingung, dan pada akhirnya ia tidak bisa berperan di masyarakat. Kuliah itu cuma ceramah teori dan bercerita saja. Berbeda dengan pesantren yang langsung dilatih dan berlatih.
Banyak sekolah-sekolah yang cenderung berlebih-lebihan, tidak sukses, dan akhirnya gagal. Bahkan sebetulnya, pendidikan di sekolah itu perlu dipertanyakan. Katanya, pendidikan itu mencetak akhlak yang bagus, memperbaiki karakter. Tapi nyatanya masih banyak orang yang bingung usai sekolah. Salah satu bukti bahwa akhlak dan karakter seseorang bagus ialah jujur. Kita melihat, bahwa jenjang pendidikan itu dimulai dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA, S1, dan seterusnya. Sekarang dari semua jenjang tersebut, yang paling jujur lulusan apa? Pasti jawabannya adalah PAUD. TK masih terbilang jujur. SD juga masih jujur, tapi itu pun hanya kelas satu, kelas dua. Setelah kelas tiga dan seterusnya, maka ia sudah mulai tidak jujur: mulai dari menipu temannya, berbohong pada guru, dan lain sebagainya. Coba kita renungkan, SD dengan SMP lebih nakal mana? SMP dengan SMA lebih nakal mana? Dan seterusnya. Semakin tinggi jenjang pendidikan ternyata para muridnya semakin nakal. Sehingga, pendidikan di sekolah itu sesungguhnya berusaha untuk menakalkan seseorang. Coba kita teliti lagi, ketika dilontarkan sebuah pertanyaan kepada anak PAUD dan TK, “siapa yang hari ini membawa uang saku lima ribu?” maka mereka menjawab, “saya, Bu Guluuu..!” Dan ketika dicek maka pasti benar: yang dibawa adalah uang lima ribu rupiah. Sementara jika diberikan tugas semisal proyek, katakanlah kepada mahasiswa S1, maka akan dipotong ini, dipotong itu, potong semua! Karena pendidikan yang selama ini diasah hanyalah otak, yang diajarkan di sekolah hanyalah perkara efektif-efisien, untung-rugi, menang-kalah. Akhirnya mereka banyak yang menjadi bingung. Ketika bingung, yang dipegang adalah kepalanya. Padahal sesungguhnya yang mestinya diperbaiki lebih dulu adalah bagian hati, bukan otak. Sehingga ketika ada masalah, yang dipegang adalah dadanya, “yang sabar ya, yang ikhlas ya, yang istiqomah ya.” Oleh sebab itu, mengapa ketika sudah kuliah kok harus mondok, ya memang seharusnya mondok. Sebab hanya pesantrenlah yang bisa menjawab segala persoalan dan memperbaiki segala yang berurusan dengan hati. Pendidikan di sekolah itu tidak bisa memperbaiki akhlak dan karakter. Tidak bisa. Justru, akhlak dan karakter itu diperbaiki di dalam pesantren.
Pendidikan di sekolah menjadi tidak sukses bukan karena gurunya, bukan karena birokrasinya. Karena memang untuk mengurus manusia merupakan suatu urusan yang berat sekali. Itulah sebabnya mengapa seseorang harus ada pondok pesantren. Kata manusia sendiri disebutkan di dalam al-Qur’an sebagai al-insan, an-nas, dan al-basyar. Disebut al-insan 56 kali, disebut an-nas 179 kali. Al-Qur’an menyebut al-insan dengan konotasi yang selalu jelek, kecuali satu ayat, yaitu laqod kholaqnal insana fi ahsani taqwim. Tapi itu pun masih diteruskan dengan tsumma rodadnahu asfala safilin. Selebihnya itu, kata al-insan jelek semua. Innal insana lirobbihi lakanud, bahwa insan/ manusia kepada Tuhannya saja ingkar, apalagi kepada teman-temannya, kepada gurunya, kepada istrinya. Jadi sangat sulit mengurus manusia itu, innal insana layathgho, innal insana lafi khusrin, innal insana ladhulmun mubin, innal insana lakafurun mubin, dan lain sebagainya. Sehingga yang disebut insan-insan itu selalu kurang, jelek, kufur, dholim, rugi, berkeluh-kesah, ingkar, dan seterusnya. Nahasnya, ada konsep pendidikan di sekolah yang berusaha untuk mencetak “insan kamil”. Padahal insan itu jelek, kamil berarti sempurna. Ada pula yang membuat slogan “memanusiakan manusia”: manusia itu sudah jelek, lalu dijadikan lebih jelek lagi. Apa tidak malah lebih jelek? Memang sangat sulit segala yang berurusan dengan urusan manusia, apalagi mengurusnya. Karena itu tidak cukup seseorang belajar hanya lewat pendidikan di sekolah saja.
Kalau memang akhlak dan karakter manusia itu tidak bisa diperbaiki lewat pendidikan di sekolah, maka solusi untuk dapat membuat manusia menjadi baik adalah lewat mondok di pesantren. Namun, tidak semua yang menjadi santri itu benar-benar baik. Santri yang apa, santri yang bagaimana? Untuk menjadi baik, tidak berbuat keji dan mungkar di dalam al-Qur’an telah dijelaskan, innassholata tanha ‘anil fakhsyai wal munkar. Arti lengkapnya di surat al-‘Ankabuut ayat 45 yaitu, “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-kitab (al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Sudah sangat jelas bukan ayat tersebut, bahwa ternyata untuk menjadi baik itu bukan melalui pendidikan di sekolah, tapi dengan melakukan sholat. Dan aktivitas sholat, terlebih shalat berjamaah itu selalu ditunaikan di pesantren. Di pesantren, para santri selalu diobrak-obrak untuk melakukan shalat berjamaah. Qad aflaha man tazakka wa dzakarosmarobbihi fasholla, wasta’inu bis shobri washsholah, robbij’alni muqimas sholati wa min dzurriyyati, fasholli lirobbika wanhar, wa aqimisholata lidzikri, dan lainnya sebagainya.
Kalau sholatnya sudah beres, maka sesungguhnya segalanya sudah selesai. Sehingga jika ada orang yang berbuat kemungkaran, jelas sholatnya tidak benar. Padahal banyak sekali orang yang sudah sholat tapi masih menipu, masih hasud, masih berbohong, iri, dengki, mengganggu orang lain, takabbur, dan lain sebagainya. Lalu apa yang salah? Yang salah itu ya kira-kira adalah sholatnya. Karena tidak semua sholat itu bisa membuat manusia menjadi baik. Di dalam al-Qur’an surah al-Mu’minun ayat 2 dijelaskan, Qad aflahal mu’minun, alladzinahum fi sholatihim khosyi’un. Permasalahannya, sholat yang khusu’ itu sholat yang seperti apa dan bagaimana?
Di dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 45-46 dijelaskan, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” Ternyata sholat khusyu’ adalah sholat yang dirinya yakin akan bertemu dengan Allah. Maka untuk dapat melakukan shalat khuyu’, seseorang harus meyakini bahwa ia kelak akan bertemu dengan Allah. Kalau ketemu dengan Allah, apakah benar-benar ketemu? Kalau benar ketemu, shalat mestinya harus tahu: siapa yang shalat? Lalu juga, shalat itu di mana? Seringkali kita tidak melakukan permenungan di dalam sholat, sehingga lupa, siapa sesungguhnya yang sedang shalat, di mana shalat itu dilakukan, kepada siapa shalat itu dipersembahkan. Sebutlah seseorang bernama Wika. Wika ini kalau pergi sebentar itu berarti badannya tidur. Kalau badannya tidur, maka tangannya tidak bisa bergerak, matanya tidak bisa digunakan untuk melihat, telinganya pun tidak bisa digunakan untuk mendengar, dan lain sebagainya: karena Wikanya pergi. Apalagi kalau Wika itu sudah pulang, selama-lamanya. Maka seluruh anggota tubuhnya tidak bisa lagi digunakan untuk bergerak. Sehingga badannya Wika harus segera dimandikan, dikafani, dishalati, dan dikirim ke kuburan. Karena Wikanya sudah roji’un. Jadi yang shalat itu adalah Wika, yang punya badan itu. Bukan tubuhnya Wika. Sering kali yang shalat itu tubuhnya Wika. Mulutnya Wika yang mengucap surah al-fatihah, tangannya Wika yang melakukan takbir, badannya yang melakukan shalat, sementara Wikanya sendiri pergi ke Mall, ke kampus, ke jalan, mengerjakan tugas, dan lain sebagainya. Di situ lalu kemudian disebut shalat yang tidak khuyu’. Mestinya ketika Allahu akbar, maka Wikanya yang shalat, ditambah qoulinya, ditambah fi’linya. Hal inilah yang sesungguhnya shalat itu tidak mempengaruhi apa-apa, tidak dapat mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar.
Shalat itu tidak saja hanya menghadap ke baitullah, tapi hatinya juga harus ada di sana. Shalatnya di masjid, tapi hatinya di sana (baitullah). Orang-orang terkadang terlalu liberal, mengatakan bahwa semua tempat itu sama, semua waktu itu sama. Dan mahasiswa banyak yang lantas kemudian percaya begitu saja. Padahal semestinya kita harus berpikir terlebih dahulu: ketika dalam kaitannya ibadah apakah semua waktu dan tempat itu sama. Tentu tidak. Ibadah haji itu harus dilakukan di baitullah makkah, puasa ramadhan itu harus pada bulan ramadhan. Maka ruh, jiwa, dan hati manusia ketika shalat semestinya berada di baitullah, sebab hanya di sanalah tempat yang paling aman, sehingga shalatnya tidak lagi digoda dan diganggu oleh syaithan. Man dakholahu kana aminan. Lalu bagaimana caranya agar kita bisa mengetahui syaithan? Mudah sekali. Ketika kita becermin di depan kaca, maka yang ada di depan kita, yang sedang kita lihat itulah yang disebut syaithan. Yang ada di dalam kaca itulah yang disebut syaithan. Tapi itu kan gambar kita? Bukan. Bukan itu yang dimaksud. Tapi yang di dalam kaca itu: kalau dia itu suka hasud-menghasud, kalau ia suka dengki, riya’, memfitnah, adu domba, suka berbuat keji, ngajinya tidak serius, maka itulah yang disebut syaithan.
Sholat sesungguhnya adalah berlatih pulang. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Bahwa segalanya itu adalah milik Allah, dan nanti kelak akan kembali kepada-Nya. Manusia itu terdiri dari jasmani dan rohani. Maka keduanya kelak akan kembali. Tanah ke tanah. Ruh ke Maha Ruh. Kalau kembalinya jasmani mungkin tidak akan pernah tersesat dalam berpulang, karena diantar oleh masyarakat ke kuburan. Persoalannya adalah kembalinya rohani kita ini. Rohani kita ini kembali ke mana? Tentu jawabannya adalah kepada Allah. Sholat itu sesungguhnya kembali. Kembali ke tempat asal: kepada-Nya. Apabila seseorang telah membiasakan untuk kembali kepada-Nya sebanyak lima kali sehari semalam, maka pada saat ia benar-benar pulang, maka ia akan tahu tempat kembali yang sesungguhnya. Berbeda dengan manusia yang jarang atau bahkan tidak pernah shalat, maka ruhnya akan menjadi bingung: mau kembali ke mana, karena tidak tahu tempat kembali. Akhirnya kemudian ruhnya gentayangan dan menjadi gendruwo. Itulah sebabnya, jika shalat seseorang sudah benar maka ia akan mengerti tempat kembali yang sesungguhnya.
Katanya, kalau ingin menjadi kaya, maka berdekat-dekatlah dengan orang kaya. Kalau ingin pintar dekat-dekatlah dengan orang pintar. Kalau ingin baik dekat-dekatlah dengan orang baik. Diceritakan bahwa jumlah Nabi itu ada 124.313, sementara jumlah Rasul ada 313. Ruh mereka berkumpul di baitullah. Maka jika ingin menjadi baik, ruh kita ketika shalat pun harus berada di baitullah sana, berkumpul bersama ruhnya para nabi dan Rasul, sehingga insya Allah ia akan menjadi baik. Demikianlah, ketika shalat itu telah benar, maka seseorang akan menjadi baik. Dan tempat pembinaan shalat, ilmu tentang shalat, berikut praktiknya ya hanya ada di pesantren. Pesantrenlah yang menjadi sebuah jawaban.
Ketika kita membaca surat al-Ma’un, tentu tidak lantas kemudian dimaknai secara tekstualnya saja, tapi juga harus melihat kontekstualnya, Aroaitalladzi yukadzzibu biddin, fadzalikalladzi yadu’ ‘ul yatim, wa la yakhuddu ‘ala tho’amil miskin. Tapi mengapa kemudian diteruskan dengan fawailul lil mushollin, kok seperti ada bab baru. Maka mungkin, yatim dimaknai bukan secara biologisnya, tapi yatim yang dimaknai dengan: “ruh ini yatim” karena terpisah dengan bapaknya. Seseorang yang tidak mempunyai bapak itu kan yatim. Yang disebut Abul basyar adalah Nabi Adam, sementara abul arwah itu adalah Nur Nabi Muhammad SAW. Innalloha wa malaikatahu yusholluna ‘alannabi. Maka jika seseorang tidak sholat, maka ini akan menyebabkan terputus, sehingga yatim: yatim di dalam hati, dan juga miskin di dalam hati. Ketika sudah yatim dan miskin hati, maka punya mata tapi tidak bisa digunakan untuk melihat, punya telinga tapi tidak bisa digunakan untuk mendengar, punya hati tapi tidak bisa digunakan untuk merasa. Sehingga ia terputus. Kalau cuma miskin harta itu tidak terlalu berbahaya, tapi kalau sudah miskin hati itu yang sangat berbahaya. Orang yang menipu, riya’, dengki, maksiat ke diskotik malam, itu semua sesungguhnya miskin hati, bukan miskin harta. Harta mereka melimpah ruah, tapi hati mereka yang sesungguhnya yatim dan miskin.
Maka sesungguhnya yang menjadi persoalan adalah mengurus hati, kalau hati baik insya Allah semuanya menjadi baik, sehingga selesailah semuanya. Rasul pernah bersabda ketika usai perang badar bahwa, “kita baru selesai dari perang kecil, kita akan bersiap-siap dengan perang besar.” Perang badar yang sedemikian dahsyatnya seperti itu kok kemudian dibilang oleh Rasul sebagai perang kecil. Lalu sahabat bertanya, “perang besar itu seperti apa ya Rasul?” Kemudian dikatakan oleh Rasul bahwa perang besar itu adalah perang melawan hawa nafsu diri sendiri. Itu lebih berat dari perang badar sekalipun. Karena hawa nafsu adalah musuh yang tak kasat mata, sementara musuh dalam perang badar terlihat oleh mata. Manusia memulai perang dengan hawa nafsu itu dimulai dari semenjak bangun dari tidur di pagi hari. Oleh sebab itu dianjurkan untuk melakukan do’a qunut di waktu shalat shubuh. Kalau manusia merasa belum sanggup melawan dahsyatnya hawa nafsu ya seharusnya melakukan qunut. Manusia itu terdiri dari empat unsur: unsur api, unsur tanah, unsur air, dan unsur udara. Sifat manusia seperti angin: yang suka sikut sana sikut sini. Sifat manusia yang seperti api: yang suka memanas-manasi temannya, sifat manusia yang seperti air: yang suka mencari jalan entah itu benar atau salah, sifat tanah yang selalu tidak puas. Jadi, selama nafas masih berada di kandung badan manusia, maka sesungguhnya nafsu itu masih menyertainya.
Al-Qur’an adalah kebenaran. Kebenaran tetaplah sebagai sebuah kebenaran. Telah sedemikian banyak keajaiban yang telah ditunjukkan oleh keagungan kalam Allah itu. Sehingga yang menjadi garis besar dari awal hingga sampai pada paragraf terakhir ini ialah “perkara yang paling berat itu sesungguhnya adalah mengurus hati”. Cara mengurus hati ialah dengan membimbing ruh dengan shalat yang benar. Shalat yang benar itu dilakukan dengan khuyu’, yaitu shalatnya orang-orang yang meyakini, bahwa mereka kelak akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. Tentu untuk kembali kepada-Nya, manusia harus dalam keadaan dengan hati yang bersih seperti sedia kala ketika manusia dilahirkan, suci tak berdebu oleh dosa. Illa man atalloha bi qolbin salim, yaitu orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat dan bersih. Ketika seseorang telah benar dalam melakukan shalat, maka seseorang akan menjadi baik, dan insya Allah hati akan menjadi damai bersama-Nya. Sementara, tempat pengajaran sekaligus pelatihan ilmu agama yang meliputi: pembinaan shalat, ilmu tentang shalat, berikut praktiknya ya hanya diajarkan di pesantren. Pesantrenlah yang menjadi jawaban.
Wallahu a’lam.
Malang, 03 Maret 2017
0 Comments