Perlukah Kita Bermadzhab ?
Oleh: Ust. Darsono
Dewasa ini kita sering mendengar segolongan umat Islam-utamanya kelompok salafi/wahabi- yang menyerukan slogan-slogan kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah kepada umat Islam. Dengan dalih bukankah al-Quran dan as-Sunnah merupakan sumber ajaran Islam utama yang diwariskan oleh Rasulullah shallahualaihaiwasalam., yang berarti berpegang kepada ajaran Islam yang murni. Memang kalau tidak kita teliti slogan mereka lalu kita terima apa adanya sekilas memang benar, karena berpedoman akan sabda Rasulullah shallahualaihiwasalam. Namun, juga tidak jarang mereka melontarkan beberapa kalimat profokatif yang membuat umat Islam yang tergolong awam menjadi bingung, semisal:
- Kamu pilih mana, ikut Ulama atau ikut al-Quran dan as-Sunnah ?
- Jangan kata kyai, langsung kata Allah dan kata Rasulullah !
- Ikut kyai atau ikut Rasulullah ?
- Lebih benar mana, kyai mu atau Rasulullah ?
Begitu mereka pandai bersilat lidah hingga umat Islam manjadi bingung. Aplikasi slogan “kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah yang mereka lontarkan dijadikan bumerang untuk mengklaim dirinya golongan yang paling benar tentang urusan agama dan tidak jarang mereka mem-bid’ah-kan, mensyirikan, dan mengkafirkan orang-orang Islam yang tidak sejalan dengan pemikiran mereka dan tuduhan itu sasarannya pada orang-orang Islam yang berpegang teguh pada madzhab.
Seperti warga Nahdliyyin yang umumnya mengikuti madzhab Syafi’ie, madzhab fikih yang dianut oleh mayoritas umat Islam di Indonesia. Dalam menanggapi slogan “kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah” dan komentar serta memberikan pemikiran yang arif agar kaum Muslimin yang masih awam tidak ragu-ragu dalam bermadzhab. Maka, perlu dijelaskan pengertian madzhab dan syarat-syarat menjadi Mujtahid Muthlaq maupun Mujtahid Muqallid.
Madzhab berasala dari bahasa Arab “dzahaba-yadzhaba-dzahaaban” yang artinya tempat untuk pergi atau jalan. Madzhab secara istilah adalah metodologi ilmiah dalam mengambil (isthinbath) hukum dari kitabullah dan sunnah dengan menggunakan berbagai sarana ilmu pengetahuan. Sementara madzhab yang kita maksud di sini adalah madzhab fikih (al-Iqna’ fi halli alfadzi jilid 1 hlm, 71).
Mengikuti madzhab tentu bukan berarti meninggalkan al-Quran dan as-Sunnah. Seorang ahli fikih yang tingkatannya sampai mujtahid muthlaq seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi’ie, dan Imam Ahmad dalam menentukan suatu hukum tidaklah terlepas dari usaha mereka memahami al-Quran dan as-Sunnah secara langsung kita sebut dengan istilah ijtihad.
Ijtihad berasal dari kata Ijtihada yang berarti bersungguh-sungguh atau berusaha keras. Sementara menurut istilah ijtihad adalah mengerahkan daya kemampuan berpikir untuk dapat mengambil kesimpulan pendapat (Isthinbath) yang langsung dari al-Quran dan as-Sunnah;
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ ۗ
“Padahal kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan kepada Ulil amri di antara merekatentulah akan dapat diketahui oleh orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya dari mereka” (Q.S an-Nisa’ ayat 83).
Menurut para Ulama, di dalam surat an-Nisa’ ayat 83, menegaskan bahwa orang yang bisa melakukan Isthinbath (menggali hukum dari sumbernya) hanyalah orang-orang yang memiliki keahlian berijtihad. Sementara sejarah berbicara, bahwa pada masa kini sudah tidak ditemukan seseorang yang mencapai posisi Mujtahid Muthlaq, bahkan Ibnu Hajar menegaskan, bahwa setelah periode Syafi’ie tidak pernah ditemukan lagi seorang Mujtahid Muthlaq.
Sebenarnya madzhab yang boleh diikuti tidak terbatas pada 4 madzhab saja. Namun, yang diakui serta diamalkan oleh golongan Ahlussunnah wal jama’ah hanya 4 saja. Karena validitas dari pendapat madzhab al-arba’ah tersebut tidak diragukan lagi dan telah teruji keshalihannya sepanjang sejarah dan juga memiliki metode Isthinbath yang jelas dan sistematis.
Menurut al-Imam Muhammad Abu Zahro, minimal ada 8 disiplin ilmu yang harus dikuasai jika hendak menjadi mujtahid, yaitu:
- Menguasai bahasa Arab.
Ulama ushul fiqih telah bersepakat bahwa mujtahid disyaratakan harus menguasai bahasa Arab karena al-Quran dan as-Sunnah berbahasa Arab. Al-Quran tergolong paling sempurna bahasanya dan paling tinggi balaghohnya, oleh karena itu orang yang menggali hukum-hukum harus menguasai bahasa Arab.
- Mengetahui nasakh dan mansukh dalam al-Quran.
Syarat ini telah ditentukan oleh Imam asy-Syafi’ie dalam kitabnya ar-Risalah. Seorang mujtahid harus mengerti secara mendalam ayat-ayat yang membahas tentang hukum yang terdapat dalam al-Quran yang jumlah ± 500 ayat. Ia harus mengeti ayat-ayat yang dinasakh (dihapus) hukumnya dan penggantinya (mansukh).
- Mengerti Sunnah/Hadits.
Syarat ini telah disepakati oleh Ulama, seorang mujtahid harus hafal dan mengerti betul tentang sunnah baik Qouliyyah (perkataan), Fi’liyyah (perbuatan), maupun Taqririyyah (ketetapan). Serta menguasai seluruh sunnah yang mengandung hukum taklifi dengan memahami isinya serta menangkap maksud hadist dan kondisi yang melatarbelakangi datangnya suatu hadist. Demikian juga harus mengerti alur riwayat hadist, kekuatan perowi hadist sehingga dapat membedakan hadist yang Shohih dan yang Dlo’if.
- Mengerti letak ijma’ dan khilaf.
- Mengetahui Qiyas.
Imam Syafi’ie mengatakan bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui jalan-jalan qiyas.
- Mengetahui maksud-maksud hukum.
- Pemahaman dan penalaran yang benar.
Imam Asnawi dalam hal ini mengungkapkan: “seorang mujtahid harus mengetahui definisi, batas, argumentasi, konklusi, dan proses dihasilkannya suatu hukum agar tidak terjerumus dalam kekeliruan”.
- Aqidah dan niat yang benar.
Keyakinan yang salah dengan adanya bid’ah, hawa nafsu, atau tidak mampu mencurahkan hatinya dengan tulus, maka ia berarti masih dikuasai oleh godaan dalam melakukan isthinbath.
Jadi kita tidak diperbolehkan melakukan ijtihad sendiri selama kita tidak mempunyai bekal yang memadai, kendati pintu ijtihad masih terbuka selebar-lebarnya.
(disadur dari hasil bahstul masail pada Karcab NU yang 14 pada tanggal 22-23 Oktober 2016).
0 Comments