Sejarah Pondok Pesantren Anwarul Huda Malang
Lembaga pendidikan pesantren sudah dikenal sejak adanya bukti Islamisasi di nusantara. Para sejarawan menyebutkan lembaga pesantren berkembang di Jawa pada sekitar abad ke-15 (Hamda, 2011). Pendidikan pesantren tersebut sebagai tempat belajar para pemeluk agama baru untuk mempelajari agama Islam secara mendalam (Hasbullah, 2001:2). Adanya pesantren juga menjadi salah satu faktor penyebab Islamisasi di Jawa berkembang pesat. Para santri2 yang telah selesai belajar, mereka kembali ke masyarakat dan menyebarkan agama Islam.
Pesantren sebagai simbol perlawanan baik dalam revolusi fisik maupun revolusi kebudayaan. Hal itu terlihat pada masa itu, di-haramkannya sistem pendidikan modern milik Belanda dan larangan berpakaian layaknya orang barat. Hal itu melahirkan pesantren yang disebut pesantren salafiyah (tradisional).
Salah satu daerah yang memiliki perkembangan pesantren dengan pesat ada di daerah Kota Malang. Berdasarkan sumber wikipedia, terdapat 44 lembaga pendidikan pesantren yang tersebar di Kota Malang. Salah satu pesantren di Kota Malang adalah pesantren Anwarul Huda.
Pesantren Anwarul Huda merupakan pesantren dengan karakteristik salafiyah (tradisional). Pesantren salafiyah berarti pesantren tersebut masih mempertahankan sistem pengajaran tradisional, dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik atau disebut kitab kuning (Hasbullah, 2001:156). Pesantren ini berada di kelurahan Karangbesuki.
KH. Muhammad Yachya pengasuh pesantren Miftahul Huda – Gading, generasi ke-4 pernah mengajak KH. M. Baidowi Muslich untuk berdakwah di daerah Karangbesuki. Beliau berkata kepada KH. M. Baidowi Muslich yang ketika itu masih menjadi santrinya “mbesok ono pondok pesantren dek kene” (suatu saat nanti ada pondok pesantren disini).
Suatu hari, masyarakat Karangbesuki beserta tokohnya mewakafkan sebidang tanah H. M. Dasuki kepada keluarga KH. Muhammad Yachya. Dengan diwakafkan tanah tersebut dimungkinkan agar tanah tersebut dapat digunakan untuk memperjuangkan agama Islam. Selain itu, Masyarakat Karangbesuki memandang perlunya pemuka agama (kiai) di daerah tersebut untuk dimintai saran dalam hal urusan agama. Dalam masyarakat Kiai menjadi tokoh yang sentral dan dominan dalam kehidupan suatu pesantren.Sehingga, predikat kiai berhubungan dengan suatu gelar kehormatan yang dikeramatkan, yang menekankan pada kemuliaan dan pengakuan yang diberikan secara suka rela kepada ulama Islam (Qosim, 2003:8).
Setelah mewakafkan tanah tersebut, putra KH. Muhammad Yachya bernama H. M. Dimyati Ayatullah Yahya meninggal dunia. Setelah ± 40 hari puteranya, KH. Muhammad Yachya juga menyusul berpulang ke Rahmatullah. Adanya kejadian tersebut membuat Ibu Nyai Hj. Siti Khotijah Yachya merasa kehilangan kedua orang yang dikasihinya. Akhirnya tanah wakaf tersebut dikembalikan. Keluarga alm. KH. Muhammad Yachya merasa belum mampu untuk mengelola tanah tersebut. Dengan dikembalikannya tanah tersebut diharapkan mampu dikelola oleh masyarakat Karangbesuki sendiri untuk dimanfaatkan masyarakat (Yaqien, 2013).
Masyarakat Karangbesuki memanfaatkan tanah tersebut untuk didirikan sebuah Yayasan Pendidikan Islam Sunan Kalijaga yang terdiri dari Masjid Sunan Kalijaga RA, MI dan MTs Sunan Kalijaga. Pendidikan tersebut berbasis keislaman.
Pada tahun ± 1994 keluarga alm. H. Dasuki, saudara H.M. Khoiruddin menjual tanah yang berada di dekat Masjid Sunan Kalijaga (Yaqien, 2013:4). Kemudian banyak pembeli menawarkan diri termasuk orang Cina dengan harga menarik. Sebelum memutuskan masyarakat Karangbesuki meminta saran kiai. Kiai tersebut adalah KH. M. Baidowi Muslich. Beliau memberikan saran untuk membelinya secara bersama-sama. KH. M. Baidowi Muslich ingin tanah tersebut didirikan sebuah pesantren. Sesuai amanat dari alm. KH. Muhammad Yahya.
Pada tahun 1997 dimulailah pembangunan pesanten sebagai bukti kesunggugan beliau. Tepatnya pada tanggal 2 Oktober 1997 Pondok Pesantren Anwarul Huda diresmikan. Pembangunan tersebut juga dibantu oleh masyarakat sekitar Karangbesuki. Sebelum pembangunan tersebut KH. M. Baidowi Muslich meminta restu dari Ibu Nyai H. Siti Khotijah Yachya. Beliau menamakan pesantren tersebut dengan nama “Anwarul Huda”. Nama tersebut dipilih agar tidak jauh berbeda dengan pesantren Miftahul Huda (Gading). Selain itu, Pesantren Miftahul Huda adalah induk dari lahirnya pesantren baru tersebut. Anwarul Huda berasal dari bahasa Arab artinya “cahaya-cahaya petunjuk”. Sistem pendidikan maupun pengelolaannya mengadopsi sistem Pesantren Miftahul Huda.