MENERIMA GADAI DENGAN MENGAMBIL MANFAATNYA
Deskripsi:
Di dalam bahasa Arab kata gadai dikenal dengan istilah rahn dari akar kata rahn, yang berarti al-tsubut (penetapan) dan al-habs (penahanan). Di sebut dengan penetapan karena setiap harta yang digadai masih tetap dan diakui sebagai milik orang yang menggadai. Selain arti kata itu, al-rahn juga diartikan dengan makna terkurung dan terjerat. Al-Rahn juga diartikan dengan kata al-tsabat dan al-dawam yang berarti tetap.” Karena benda itu biarpun telah diserahkan tetap menjadi milik orang yang menggadaikan.
Di dalam Islam keinginan untuk mengadakan hubungan baik dengan orang lain disebut dengan muamalah di antar sesama manusia. Di Indonesia, gadai merupakan praktek muamalah yang banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Hanya saja di dalam praktek-praktek gadai yang berlaku itu seringkali orang yang memegang harta gadai tersebut dari orang yang meminjam uang menggunakan barang yang digadaikan itu. Dan ini memang sangat sering terjadi di dalam masyarakat kita, apakah menggadaikan sawah, kelapa, mobil, emas-emasan dan lain-lain. Kesemua pratek gadai itu sering dimanfaatkan oleh orang yang menerima gadai. Tulisan berikut ini mencoba mengkaji lebih lanjut bagaimana hukum orang yang menerima gadai kemudian mengambil manfaatnya.
Pertanyaan :
Bagaimana hukum orang yang menerima gadai dengan mengambil manfaatnya. misalnya: sebidang tanah yang digadaikan, kemudian diambil hasilnya dengan tanpa syarat pada waktu akad diadakan demikian itu, baik sudah menjadi kebiasaan, atau sebelum akad memakai syarat, atau dengan perjanjian tertulis, tetapi tidak dibaca pada waktu akad. Hal demikian itu apakah termasuk riba yang terlarang atau tidak?
Jawaban:
Dalam masalah ini terdapat tiga pendapat dari para ahli hukum (ulama’), yaitu:
a.Haram: Sebab termasuk hutang yang dipungut manfaatnya (rente).
b.Halal: Sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sebab menurut ahli hukum yang terkenal, bahwa adat yang berlaku itu tidak termasuk syarat.
c.Syubhat: (Tidak tentu jelas halal haramnya) sebab para ahli hukum berselisih pendapat.
Adapun Muktamar memutuskan, bahwa yang lebih berhati-hati ialah pendapat yang pertama (haram). Keterangan, dari kitab:
- Asybah Wa al-Nazha’ir!
لَوْعَمَّ في النَّاسِ اِعتِيَادُ إِبَاحَةِ مَنَافِعِ الرَّهْنِ لِلْمُرْتَهِنِ فَهَلْ يِنْزِلُ مَنْزِلَةَ شَرْطِهِ حَتَّىَ يَفسُدَ الرَّهْنُ قَالَ الْجُمْهُوْرُا وَقَالَ اْلقَفَّالُ نَعَمْ
Seandainya sudah umum di masyarakat kebiasaan kebolehan memanfaatkan barang gadai bagi pemberi pinjaman/penerima gadai, apakah kebiasaan itu dianggap sama dengan menjadikannya sebagai syarat, sehingga akad gadainya rusak? Jumhur ulama berpendapat: “Tidak diposisikan sebagai syarat.” Sedangkan al-Qaffal berpendapat: “Ya (diposisikan sebagai syarat).
-
Fath al-Mu’in dan I’anah al-Thalibin
وَجَازَ لِمُقْرِضٍ نَفْعٌ يَصِلُ لَهُ مِنْ مُقْتَرِضٍ گرَدِّ الزَّئِدِ قَدْرًا أَوْصِفَةً وَاْلأَجْوَدِ لِلرَّدِئِ )بِلاَ شَرْطٍ( فِي اْلعَقْدِ بَلْ يُسَنُّ ذَلِكَ لمِقْتَرِضٍ إِلَى أَنْ قَالَ وَأَمَّا اْلقَرْضِ بِشَرْطِ جَرِّ نَفْعٍ لِمُقْتَرِضٍ فَفَاسِدٌ لِخَبَرٍكُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا. )قَوْلُهُ فَفَاسِدٌ( قَالَ ع ش، وَمَعْلُوْمٌ أَنَّ مَحَلَّ اْلفَسَادِ حَيْثُ وَقَعَ الشَّرْطُ فِي صُلْبِ اْلعَقْدِ. أمَّا لَوْتَوَافَقَا عَلَى ذَلِكَ وَلمَ ْيَقَعْ شَرْ طٌ فِي اْلعَقْدِ فَلاَ فَسَادَ
Diperbolehkan bagi si pemberi pinjaman untuk memperoleh keuntungan
(sesuatu kelebihan) dari peminjam, seperti pengembalian yang lebih dalam ukuran atau sifatnya, dan yang lebih baik pada pinjaman yang jelek, asalkan tidak disebutkan dalam akad sebagai persyaratan, bahkan disunatkan pagi peminjam untuk melakukan yang demikian itu (mengembalikan yang lebih baik lagi dibandingkan barang yang dipinjamnya).
Adapun peminjaman dengan syarat adanya keuntungan bagi pihak pemberi pinjaman, maka hukumnya fisid, sesuai dengan hadis “Semua peminjaman yang menarik sesuatu manfaat (keuntungan bagi pemberi pinjaman) maka termasuk riba.”
Dengan ini diketahui, bahwa rusaknya akad tersebut jika memang disyaratkan dalam akad. Sedangkan jika keduanya si peminjam dan pemberi pinjaman secara kebetulan (melakukan praktik tersebut), dan tanpa disyaratkan dalam akad, maka akad itu tidak rusak (boleh).
Penulis: Muhammad Haidar Ali
Sumber Refrensi :
- Jalaluddin al-Suyuthi, Asybah wa al-Nazha’ir, (Mesir: Maktabah Mustahafa Muhammad, th.), h. 86.
- Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in dalam al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathı, I’anah al-Thalibin, (Singapura: Sulaiman Mar’i, t. th.), Jilid III, h. 53
- Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926 – 2015 M)
0 Comments