Inilah Perjuangan Heroik K.H. Hasyim Asy’ari

Published by Ponpes Anwarul Huda on

Sejarah mencatat namanya sebagai ulama yang berpengaruh di Nusantara, bahkan dunia. Beliau dikenal sebagai sosok pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdatul Ulama. Bukan hanya menjaga dan mensyiarkan agama Islam, beliau juga salah satu tokoh pahlawan Nasional yang ikut serta mengusir penjajah dan memeprtahankan Republik Indonesia. Dan beliau juga dengan Nahdhatul Ulamanya merupakan sosok yang memperkrasai resolusi jihad atau fatwa jihad melawan penjajah. Itulah sosok Hadratus syaikh K.H. Hasyim Asy’ari, merupakan potret sosok Ulama yang dengan keilmuannya beliau berkonstribusi untuk agama Islam dan Negara Indonesia.

Pengumandangan resolusi Jihad pada 22  oktober 1945 tidak bisa dilepaskan dari fatwa jihad yang dicetuskan rois am NU K.H. Hasyim Asy’ari. Dalam fatwa jihadnya K.H. Hasyim Asy’ari menyerukan kepada santri dan umat islam untuk ikut terlibat dalam pertempuran mempertahankan kemerdekaan pada tahun 1945. Kesadaran akan pentingnya kemerdekaan, telah lama menjadi kesadaran yang dihayati dan diperjuangkan oleh banyak ulama, tak terkecuali K.H. Hasyim Asy’ari

KH Hasyim Asy’ari lahir pada tanggal 10 April 1875 di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

KH Hasyim Asy’ari merupakan putra dari pasangan Kyai Asy’ari dan Halimah, Ayahnya Kyai Asy’ari merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. KH Hasyim Asy’ari merupakan anak ketiga dari 10 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang).

Sejak kecil, KH Hasyim Asy’ari mendapatkan pendidikan dan nilai-nilai dasar Islam yang kokoh dari kedua orang tuanya. Bakat kepemimpinan dan kecerdasannya memang sudah Nampak sejak beliau masih terbilang kecil. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin.

Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Kemudian dalam Usia ke 15 tahun, Hasyim berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain.

Awalnya, beliau menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang.

Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, kemudian beliau melanjutkan belajar di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kyai Cholil, dan kemudian pindah ke Pesantren Siwalan di Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan.

Selama tiga tahun Kyai Hasyim mendalami berbagai bidang kajian islam, terutama tata bahasa Arab, sastra, Fiqh dan Tasawwuf kepada Kyai Cholil. Sementara, di bawah bimbingan Kiai Ya’qub, Kiai Hasyim berhasil mendalami Tauhid, Fiqh, Adab, Tafsir dan Hadits.

Selain di tanah Jawa, K.H. Hasyim Asy’ari juga memperluas pencarian ilmunya hingga ke tanah Arab. Akhirnya pada tahun 1893, Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi yang semuanya ahli dalam bidang keilmuan.

Setelah  beberapa tahun belajar berbagai ilmu di tanah suci, , K.H. Hasyim Asy’ari terpanggil untuk mengamalkan ilmu yang diperolehnya di tanah air.

Tahun 1899 pulang ke Tanah Air dengan ilmu yang mumpuni, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng Jombang pada 26 Rabiul Awal 1317 H atau bertepatan tahun 1899 M.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama Pesantren Tebuireng berkembang pesat, kurang dari 20 tahun sejak pendirian pesantren, berhasil mendidik ribuan santri yang datang dari berbagai pelosok tanah air.

Selain itu, pesantren Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim.

Tak hanya bergiat dalam dunia pendidikan, K.H. Hasyim Asy’ari juga merupakan tokoh yang sangat peduli dengan perkembangan masyarakat. Pada tahun 1926, saat pergerakan tanah air tengah menggeliat, K.H. Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama lain seperti K.H. Bisri Syansuri dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah memprakarsai berdirinya Nahdlatul Ulama atau NU atau kebangkitan ulama. Dalam pertemuan pertama ulama NU, K.H. Hasyim Asy’ari kemudian terpilih sebagai rois akbar NU. Melalui NU K.H. Hasyim Asy’ari dan ulama lain tak hanya berperan besar dalam mengorganisir dan menyatukan umat Islam. Dalam perkembangannya kemudian, NU juga ikut berkontribusi dalam menyelesaikan persoalan- persoalan nasional. Misalnya, menghadapi kebengisan penjajah Belanda maupun Jepang. Besarnya pengaruh K.H. Hasyim Asy’ari dalam memimpin NU serta banyaknya pemikiran, K.H. Hasyim Asy’ari yang didengarkan di kalangan Nahdliyyin membuat pemerintah colonial belanda beberapa kali berupaya mendekatinya. Diantaranya menawari berbagai jabatan dan harta benda. Namun rayuan pemerintah colonial Belanda ini tak pernah digubris oleh K.H. Hasyim Asy’ari.

Ketokohan K.H. Hasyim Asy’ari dan intregitasnya sebagai ulama yang mencintai kedamaian dan kemerdekaan, pada tahun 1940-an mendapatkan ujian berat. Namun justru zaman penajajahan jepang. Ketokohannya sebagai ulama besar dan pemimpin umat kian tak terbantahkan.

Masa pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942 , K.H. Hasyim Asy’ari sempat ditahan oleh Jepang karena menolak melakukan Seikerei; kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami).

Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.

Namun, Kyai Hasyim menolak aturan Seikerei yang dianggapnya sesat. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi cacat.

Akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.

Saat Jepang kalah perang dan menyerah kepada sekutu, Kyai Hasyim tanpa ragu langsung menyatakan dukungan terhadap Negara kesautuan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno Hatta. Dukungan ini kemudian dibuktikan oleh Kyai Hasyim Asy’ari dan para ulama serta kalangan santri dengan keterlibatan mereka dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, Indonesia yang masih berumur jagung, pada Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya). Dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut.

Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Sejarah mencatat, Akibat dari resolusi jihad ini, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945. Fatwa jihad atau resoilusi jihad ini mengobarkan para santri, ulama dan umat islam untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris.

Selain para santri dan ulama, orang2 perdesaan, bahkan pejuang di berbagai wilayah di luar Surabaya yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampong asalnya bergabung dalam lascar Hizbullah dan Sabilillah bentukan Kyai Hasyim untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 November kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.

Setelah kemerdekaan Indonesia, karena berbagai kiprahnya di tingkat nasional, K.H. Hasyim Asy’ari dipercaya menjadi ketua umum dewan partai MASYUMI atau Majelis Syuro Muslimin Indonesia. Namun jabatan ini tidak lama diembannya. Kerena pada tanggal 25 Juli 1947 K.H. Hasyim Asy’ari meninggal dunia. Jenazahnya kemudian dimakamkan di salah satu sudut di area Tebuireng. Hingga kini, makam K.H. Hasyim Asy’ari setiap hari ramai dikunjungi peziarah yang datang untuk mendoakannya.

Tak hanya mewariskan semnagat cinta tanah air dan berbagai kisah teladan. Sosok K.H. Hasyim Asy’ari juga meninggalkan banyak karya tulis atau kitab yang merefleksikan keluasan pemikirannya. Diantaranya;

Risalah Ahl aas-Sunnah wa al-Jamaah, Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim, Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama Dan lain sebagainya.

Atas jasa kiprahnya terhadap Islam dan pengabdiannya kepada Negara dengan mempertahakan Negara kesatuan Republik Indonesia, akhirnya presiden Soekarno pada tahun 1964 menetapkan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai pahlawan nasional.

sumber: Anwarul Huda TV


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *